Ada satu fase krusial dalam perjalanan siapa pun yang hendak memulai bisnis: memilih jalan sendirian atau mengajak teman berjuang bareng. Pertanyaan ini terdengar sepele, tapi jawabannya bisa menentukan bukan hanya arah bisnis, tapi juga kualitas hidup dan ketenangan pikiran si pendiri.
Menjadi solopreneur, orang yang menjalankan usaha secara independen tanpa mitra tetap, punya daya tarik tersendiri. Kamu bebas menentukan arah bisnis, jam kerja, gaya branding, sampai keputusan sekecil-kecilnya: mau pakai font apa di kemasan. Nggak ada drama perdebatan visi. Nggak ada kompromi.
Tapi tunggu dulu, enak di awal belum tentu enak di akhir.
Sebaliknya, membangun bisnis bersama partner bisa mempercepat langkah. Ada tempat berbagi ide, beban kerja, bahkan modal. Tapi di balik itu, ada potensi konflik, beda nilai, dan ketergantungan yang bisa menjelma jadi bumerang.
Sendiri: Merdeka, tapi Butuh Tenaga Ekstra
Menjadi solopreneur ibarat naik gunung sendirian. Kamu bisa berhenti kapan saja, bisa pilih jalur sendiri, tapi ya… kalau kram di tengah jalan, siapa yang bantu?
Keputusan kamu adalah keputusan tunggal. Tidak perlu musyawarah, tidak perlu berdebat. Kamu bisa bangun jam 10 pagi, kerja sampai subuh, atau libur seminggu tanpa harus izin ke siapa pun. Ini cocok buat orang yang punya kontrol kuat atas ide dan eksekusi, sering merasa frustrasi kerja tim karena beda cara kerja, punya pengalaman yang cukup luas: dari produksi sampai pemasaran.
Tapi di balik kemerdekaan itu, ada tekanan besar. Semua risiko ditanggung sendiri. Semua beban, dari legalitas, finansial, pemasaran, sampai nyari pelanggan pertama, ya kamu juga yang urus.
Dan kadang, bukan urusan teknis yang bikin berat, tapi… kesepian.
Tidak semua orang kuat bicara sama diri sendiri terus menerus.
Bermitra: Dua Kepala, Dua Kekuatan (dan Dua Ego)
Di sisi lain, membangun bisnis bareng orang lain terdengar seperti ide yang lebih masuk akal. Ada pembagian kerja. Satu fokus produksi, satu pegang pemasaran. Satu jago bikin konten, satu jago urusan legal dan keuangan. Idealnya, kombinasi ini mempercepat pertumbuhan bisnis.
Namun… ingat kata kuncinya: idealnya.
Nyatanya, banyak bisnis bubar bukan karena nggak laku, tapi karena orang di baliknya bubar jalan. Visi mulai nggak sejalan. Satu orang ingin tumbuh cepat, satu lagi ingin tetap kecil tapi nyaman. Satu ingin ekspansi ke kota besar, satu ingin tetap lokal dan sederhana. Belum lagi jika keuangan mulai untung dan pertanyaan, “Siapa lebih layak dapat lebih banyak?” mulai muncul di meja makan.
Bermitra butuh kemampuan yang mungkin lebih berat daripada sekadar punya ide bagus: kemampuan untuk berkompromi dan komunikasi yang dewasa.
Jadi, Mana yang Lebih Cocok Buat Kamu?
Pertanyaan ini nggak bisa dijawab semua orang dengan jawaban yang sama. Tapi ada beberapa hal yang bisa kamu pertimbangkan.
1. Kenali Gaya Kerja Kamu
Kalau kamu terbiasa bekerja independen, tidak suka rapat, dan punya kejelasan sendiri tentang apa yang ingin kamu bangun—jadi solopreneur mungkin lebih cocok.
Tapi kalau kamu senang bertukar pikiran, berkembang lewat diskusi, dan butuh dorongan dari luar untuk konsisten, maka bermitra bisa jadi pilihan bijak.
2. Seberapa Luas Kapasitasmu?
Jujur pada diri sendiri: apakah kamu mampu memegang semua lini bisnis? Punya waktu? Energi? Ilmu dasar tentang akuntansi, pemasaran, desain, dan logistik?
3. Apakah Kamu Butuh Validasi Eksternal?
Beberapa orang sangat butuh partner untuk jadi cermin. Ada yang mudah overthinking jika semua ditanggung sendiri. Dalam kasus ini, partner bisa membantu menjaga kestabilan mental.
4. Apakah Kamu Siap Berbagi?
Nggak semua orang cocok membagi ide, keuntungan, bahkan spotlight. Kalau kamu merasa sangat protektif terhadap brand atau produkmu, lebih baik mulai sendiri dulu.
5. Apakah Kamu Bisa Menjalin Relasi Profesional Jangka Panjang?
Kemitraan bukan cuma soal kerja bareng, tapi membangun visi jangka panjang. Kalau kamu belum pernah kerja tim dalam proyek besar sebelumnya, atau sering punya konflik komunikasi, mungkin solopreneur adalah tahap awal yang lebih realistis.
Solusi Tengah: Mulai Sendiri, Buka Peluang Kolaborasi
Kalau kamu belum yakin, ada satu pendekatan yang makin populer: mulai sendiri dulu sebagai solopreneur, lalu buka ruang kolaborasi secara bertahap. Misalnya bekerja sama proyek dengan freelancer, menyewa konsultan marketing atau desain, buka partnership untuk lini produk tertentu saja.
Dengan begini, kamu tetap pegang kendali penuh, tapi tidak menutup diri dari bantuan dan sinergi. Kalau chemistry dengan partner temporer ini cocok, bisa jadi pintu menuju kemitraan yang lebih solid ke depan.
Jalan Mana pun Sah, Asal Siap Konsisten
Mau sendiri atau bareng-bareng, dua-duanya punya tantangan. Yang membedakan bukan bentuk strukturnya, tapi kesiapan mental dan komitmen jangka panjang. Banyak yang sukses sendirian, banyak pula yang sukses karena kemitraan. Tapi lebih banyak lagi yang gagal karena tak siap berjalan jauh sendirian maupun bersama.
Yang paling penting kenali dirimu lebih dulu sebelum memilih cara membangun impianmu.
Karena pada akhirnya, bukan hanya soal sukses secara finansial, tapi juga soal apakah kamu bisa tidur nyenyak tiap malam tanpa merasa kehilangan arah.
