Beras Oplosan Menyebar di Pasar, HET dan Pengawasan Lemah Jadi Penyebab?

Posted on

Temuan 212 Merek Beras Tidak Memenuhi Standar Mutu

Investigasi yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri mengungkap adanya 212 merek beras yang tidak memenuhi standar mutu. Pelanggaran yang ditemukan mencakup berbagai aspek, seperti berat kemasan, komposisi beras, dan label produk. Dari temuan ini, terdapat beberapa merek yang menjual kemasan beras dengan berat 5 kilogram, padahal isinya hanya sekitar 4,5 kilogram. Selain itu, banyak merek yang mengklaim produknya sebagai beras premium, meskipun kualitasnya biasa saja.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutkan bahwa beras oplosan tidak hanya beredar di pasar tradisional, tetapi juga di minimarket dan supermarket. Ia menegaskan bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari berbagai tempat tersebut. Setelah temuan ini terungkap, beberapa minimarket mulai menarik produk oplosan dari rak. Meski begitu, data dan bukti pelanggaran tetap akan ditindaklanjuti oleh penegak hukum.

Amran mencatat bahwa praktik oplosan bisa merugikan konsumen hingga mencapai Rp 99 triliun per tahun. Kerugian ini terjadi setiap tahun, sehingga dalam jangka waktu 10 tahun, kerugian bisa mencapai hingga Rp 1.000 triliun, sedangkan dalam 5 tahun mencapai sekitar Rp 500 triliun.

Penyebab Utama Oplosan: Harga Eceran Terendah (HET) yang Terlalu Rendah

Ahli Teknologi Industri Pertanian dari IPB University, Tajuddin Bantacut, menilai bahwa harga eceran terendah (HET) untuk beras medium yang terlalu rendah menjadi penyebab utama maraknya oplosan. HET nasional untuk beras medium ditetapkan pada angka Rp 12.500 per kilogram, sementara beras premium dijual dengan harga Rp 14.900 per kilogram.

Menurut Tajuddin, biaya bahan baku sudah mencapai kisaran Rp 11.300 hingga Rp 11.400 per kilogram. Jika ditambah ongkos pengolahan sebesar Rp 500, ongkos distribusi dan pemasaran sebesar Rp 300, serta margin keuntungan sebesar 10 persen atau sekitar Rp 650, maka harga jual ideal seharusnya mencapai Rp 13.000 per kilogram.

Ia menyarankan agar HET beras medium dinaikkan. Menurut hitungan Tajuddin, harga ideal untuk beras medium bisa berada di kisaran Rp 15.000 hingga Rp 16.000 per kilogram. Dengan harga yang lebih wajar, para pelaku usaha tidak akan melakukan tindakan pemalsuan atau oplosan.

Tajuddin juga meminta pemerintah untuk meninjau ulang penetapan harga Gabah Kering Panen (GKP). Saat ini, harga GKP di tingkat petani mencapai Rp 6.640 per kilogram, sementara di penggilingan sekitar Rp 8.071 per kilogram. Ia menyoroti bahwa kadar air beras dapat berbeda-beda, yaitu rata-rata 24-25 persen, namun ada yang mencapai 30 persen. Oleh karena itu, pemerintah perlu meninjau kembali bagaimana menentukan harga GKP secara lebih baik agar semua pihak merasa nyaman.

Pengawasan yang Lemah Menjadi Masalah

Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menilai bahwa pengawasan dan penegakan hukum terhadap mafia pangan masih lemah. Meskipun Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan cukup kuat dan mengatur seluruh aspek pangan, termasuk sanksi terhadap pelaku oplosan, penimbunan, dan kecurangan lainnya, mekanisme pengawasan masih kurang efektif.

Said menilai bahwa pengawasan harus lebih terukur dan berbasis data. Misalnya, dengan melacak distribusi dari wilayah asal hingga lokasi penjualan. Basis data ini dapat membantu mengetahui volume barang yang keluar, tujuan distribusi, dan sisa stok. Dengan demikian, pemerintah dapat lebih mudah memantau pergerakan beras dan mencegah praktik ilegal.

Ia juga menekankan pentingnya adanya mekanisme monitoring yang lebih terukur, tidak hanya melibatkan publik, tetapi juga memiliki sistem yang jelas dan terstruktur. Hal ini akan memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku oplosan, sehingga mampu melindungi konsumen dan menjaga kualitas pangan di Indonesia.