Seorang juru bicara bisa diartikan sebagai penerus pikiran, sumber berita, serta penghubung antara lingkungan kerajaan alias institusi tertentu dengan publik luas, masyarakat, dan pers. Pesan yang dibagikan melalui juru bicara ini adalah pesan vital dan terupdate, menjadi representasi resmi dari stances kekuasaan atau instansi tentang sebuah insiden.
Karena itu, fungsi dari seorang juru bicara sungguh penting. Kebijakan tertentu, lebih-lebih lagi keputusan yang diambil oleh pemerintahan, bisa diterima serta dimengerti dengan jelas oleh publik tergantung kepada bagaimana sang juru bicara menyampaikan pesannya.
Juru bicara juga dapat dianggap sebagai “menyelesaikan masalah sebelum menjadi masalah,” sehingga informasi yang diberikan kepada publik tidak menyebabkan kesalahan atau menciptakan permasalahan tambahan yang membingungkan bahkan hingga menimbulkan amarah di kalangan masyarakat.
Belakangan ini, komunitas termasuk pengguna media sosial di internet, marah besar atas pernyataan dari seorang juru bicara yang mewakili kabinet dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto. Hal tersebut berkaitan dengan respons mereka terhadap ancaman serangan ke arah kantor Tempo menggunakan kepala babi busuk.
“Sajikan saja,” kata juru bicara dari sang Presiden.
Menjawab pertanyaan jurnalis tentang ancaman kepala babi yang sudah membusuk di kantor Tempo setelah dikeluarkannya Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.
Sepertinya, Presiden Prabowo harus mengkaji ulang salah satu pembicaranya tersebut untuk mencegah terjadinya kegonjang-gonjang dan meningkatnya ketidaksukaan publik terhadap pemerintahan. Sebaiknya metode komunikasi Istana Dalam Negeri perlu disempurnakan daripada semakin buruk keributannya.
Tiba-tiba, ini mengingatkan saya akan dua pembicara resmi pemerintahan yang pantas untuk dijadikan teladan, bukan hanya karena karakter mereka tetapi juga kinerja profesional saat menjalankan tugas dan bertanggung jawab sebagai juru bicara.
Almarhum Sutopo Purwo Nugroho, yang juga dikenal sebagai Pak Topo, pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dari tahun 2010 hingga 2019. Sedangkan Almarhum Achmad Yurianto, biasa dipanggil Pak Yuri, sebelumnya menjadi Direktur Jenderal Pencegahan dan Kontrol Penyakit di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia serta juru bicara untuk penanganan pandemi COVID-19 pada tahun 2020.
Mengikuti Cara Komunikasi Pak Topo yang Santai tapi Bernilai
Pak Topo adalah salah satu pejabat pemerintah yang media darling. Bekerja di dunia kebencanaan yang syarat dengan kondisi dan situasi mencemaskan, namun karena kelihaian beliau dalam berkomunikasi, informasi kebencanaan dapat disampaikan dengan edukatif, ringan, dan jenaka sehingga masyarakat mampu memahaminya dengan jernih.
Walaupun tidak memiliki pendidikan formal di bidang komunikasi, kemampuan beliau dalam urusan publik telah menjadikannya sebagai penerima gelar tokoh humas terbaik sepanjang masa di Indonesia.
Dia memberikan berita tentang bencana menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas, tanpa menyembunyikan apa pun termasuk kabar buruknya, sehingga orang-orang merasa lebih teredukasi.
Pada akun Instagram-nya, ia dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan warganet secara humoris tapi masih mendidik. Inilah yang membentuk kedekatan antara Bapak Topo dan publik, sehingga kabar dari dirinya selalu dinantikan.
Dia selalu muncul dengan tenang, menyampaikan setiap rincian tentang informasi bencana secara jelas dan mendetail. Tak ada ucapan yang keliru atau malahan berubah menjadi hal negatif. Layak kiranya bagi pekerja humas khususnya juru bicara istana untuk mengambil contoh profesionalitas dia saat melaksanakan tanggung jawabnya.
Almarhum meninggal dunia pada tahun 2019 usai melawan kanker paru-paru stadium IVB. Meskipun keadaan kesehatannya memburuk, dia masih bertahan dan menjalankan tugasnya sampai hari terakhir. Inilah yang sangat menginspirasi kita semua tentang dedikasinya yang luar biasa ini.
Komunikasi Sukses Bapak Yuri Selama Masa Pandemi COVID-19
Keberadaannya terus menyemarakkan setiap harinya saat pandemic COVID-19 sedang melanda dunia secara keseluruhan termasuk juga di Indonesia. Karakteristik diri beliau yang damai serta membawa kabar pembaruan informasi dalam rincian dan bersifat mendidik benar-benar dinantikan oleh publik.
Situasi yang sungguh memprihatinkan, dengan rumah sakit yang sudah penuh sesak, dan jalan-jalan dipenuhi bunyi sirene ambulansi yang terus-menerus berganti-ganti, bukan hanya mengacaukan struktur ekonomi tetapi juga memberikan dampak besar pada kesejahteraan mental masyarakat yang sedang bergejolak.
Penampilannya yang tenang itu memberitahu masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi pandemi COVID-19. Pemerintah mengeksekusi strategi penanganan virus corona melalui dirinya dengan sikap dingin dan terkontrol, tanpa ada ucapan yang memicu respons negatif. Karena alasan tersebut, pesan ini dapat dimengerti dengan jelas oleh publik.
Menjadi perwakilan media di tengah situasi yang tegang waktu itu bukanlah hal yang sederhana. Dibutuhkan kepribadian yang tenang serta cara berbicara singkat dan jelas untuk membangun komunikasi yang efisien.
Almarhum meninggal dunia pada tahun 2020, setelah bertarung dengan penyakit kanker usus yang diidapnya. Upacara pemakaman dilaksanakan sesuai protokol militer mengingat beliau merupakan seorang dokter angkatan bersenjata.
Di samping keduanya, terdapat beberapa juru bicara pemerintahan lainnya yang bisa dijadikan teladan seperti Julian A. Pasha sang juru bicara untuk Presiden SBY, Pramono Anung mantan juru bicara bagi Presiden Megawati sekarang menjabat sebagai Gubernur DK Jakarta, serta Johan Budi dari presidensi Jokowi.
Menjadi perwakilan resmi pemerintah, harusnya sang presiden menunjuk juru bicara yang handal dalam hal komunikasi.
Pelaku komunikasi resmi tak perlu berasal dari jurusan Ilmu Komunikasi, asalkan memiliki empati supaya pesannya meredamkan dan mendidik, sehingga mampu membangun penghubung yang penuh kemanusiaan.