Kritik terhadap Kebijakan Pertanian yang Tidak Berpihak pada Petani
Di tengah perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-80, H. Rustan Rewa, S.P., M.P., Asisten Ekonomi dan Pembangunan Pemda Tolitoli, menyampaikan pandangan mengenai tantangan yang dihadapi petani dan nelayan. Ia menyoroti ironi yang sering terjadi dalam dunia pertanian, yaitu ketika hasil panen melimpah, harga jual justru turun drastis, sehingga menimbulkan kerugian besar bagi para petani. Biaya produksi yang tinggi serta perawatan yang memakan waktu semakin memperparah kondisi mereka, membuat mereka terjebak dalam lingkaran kerugian.
Rustan, seorang alumni Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, menegaskan bahwa akar masalahnya adalah “jarak sosial dan kultural” antara pembuat kebijakan dan realitas hidup petani. Banyak pengambil kebijakan hanya memahami pertanian dari data statistik dan laporan resmi, tanpa benar-benar merasakan perjuangan harian petani dalam menghadapi alam, cuaca tak menentu, fluktuasi harga, serta kesulitan akses pasar. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dibuat sering kali tidak efektif dan kurang relevan dengan kebutuhan nyata petani.
Menurutnya, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia masih terjebak pada aspek teknis dan ekonomi, sementara dimensi kemanusiaan sering diabaikan. Bertani bukan hanya soal panen, tetapi juga tentang harga yang adil, rasa aman, martabat, dan keberlangsungan hidup keluarga. Ketika martabat petani diabaikan, kemandirian lokal melemah dan bangsa terus cemas akan impor. Dalam konteks Tolitoli, isu pertanian mencakup berbagai aspek seperti akses lahan, pupuk, modal, teknologi, regenerasi, dan dampak perubahan iklim. Sayangnya, kebijakan sering tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek, sehingga petani hanya dilihat sebagai angka pendukung, bukan aktor utama dalam pembangunan.
Makna Kemerdekaan bagi Petani dan Nelayan
Hari Kemerdekaan ke-80, bagi Rustan, adalah momen untuk merefleksikan sejauh mana cita-cita kemerdekaan telah terwujud, khususnya dalam hal keadilan sosial dan kemandirian bangsa. Kemerdekaan sejati, menurutnya, bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga bebas dari kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan ketidakadilan. Ia menilai bahwa petani dan nelayan adalah pahlawan masa kini yang memastikan bangsa ini tetap hidup.
Ia memuji kepemimpinan Bupati Tolitoli, H. Amran Hi. Yahya, sebagai sosok pemimpin yang tumbuh dari akar masyarakat. Mulai dari Kepala Desa hingga menjadi Bupati dua periode, Amran sangat memahami kehidupan petani dan nelayan. Dalam setiap kebijakan, ia selalu menegaskan prinsip keberpihakan pada masyarakat kecil. Kedekatan Bupati dengan rakyat, yang sering turun langsung ke sawah dan pesisir, memberikan inspirasi bagi jajaran di bawahnya untuk memastikan petani dan nelayan tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga bangkit sebagai pilar utama kemandirian daerah.
Pesan untuk Pahlawan Masa Kini
Rustan menegaskan bahwa petani yang merdeka adalah petani yang kreatif dan mampu berinovasi tanpa dibebani persoalan klasik. Kemerdekaan sejati bagi petani adalah kemampuan bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Jika dulu pahlawan berjuang dengan bambu runcing, kini petani berjuang dengan cangkul, benih, dan teknologi untuk memastikan rakyat tidak kelaparan.
Ia mengingatkan bahwa tantangan petani saat ini adalah ketergantungan impor dan harga yang tidak adil. Oleh karena itu, Hari Kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum untuk memperkuat semangat berinovasi dan mendorong regenerasi petani. Anak muda harus didorong melihat pertanian sebagai sektor strategis dan masa depan bangsa.
Makna Hari Kemerdekaan RI ke-80 bagi petani adalah meneguhkan kembali peran mereka sebagai penopang kedaulatan bangsa, sekaligus menguatkan tekad bertransformasi menuju pertanian yang modern, mandiri, dan berkeadilan.


