Apakah Pernikahan Benar-Benar Menakutkan?

Posted on

Mengapa Pernikahan Dianggap Menakutkan oleh Generasi Z

Kasus viral di media sosial yang melibatkan seorang selebriti nasional yang melakukan ospek terhadap pasangan anaknya telah memicu banyak kritikan. Sikapnya yang ketus dan galak menjadi topik perbincangan yang menunjukkan bahwa pernikahan semakin dianggap sebagai hal yang mengerikan oleh generasi Z. Fenomena ini menggambarkan bagaimana pengalaman buruk yang dialami oleh banyak orang membuat mereka merasa tak nyaman dalam menjalani hubungan pernikahan.

Sebelumnya, banyak orang berbagi kisah-kisah negatif tentang pernikahan mereka di platform seperti Threads. Mulai dari perselingkuhan, masalah keuangan, konflik dengan mertua dan ipar, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya, muncul tagar “Marriage is Scary” yang menjadi simbol rasa takut dan ketidakpercayaan terhadap pernikahan.

Banyak perempuan Gen Z akhirnya memutuskan untuk menunda menikah. Mereka mencoba membentuk benteng perlindungan diri agar tidak terjebak dalam pernikahan yang bisa merugikan dan membuat hidup mereka terasing dalam hubungan yang tidak nyaman. Strategi yang mereka gunakan adalah menjadi wanita mandiri, fokus pada karir, dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin agar siap melarikan diri kapan saja jika pernikahan tidak sesuai harapan.

Mekanisme Pertahanan Diri dalam Pernikahan

Fenomena “Marriage is Scary” memicu munculnya mekanisme pertahanan diri yang dianalisis oleh Sigmund Freud. Beberapa mekanisme tersebut antara lain:

  • Projection (Proyeksi): Perempuan cenderung memproyeksikan ketakutan mereka ke masa depan, sehingga melihat pernikahan sebagai ancaman yang harus diwaspadai.
  • Rationalization (Rasionalisasi): Keinginan untuk menikah dirasionalisasi dengan alasan logis seperti kesuksesan karir atau kemandirian finansial.
  • Denial (Penyangkalan): Banyak yang menyangkal bahwa pernikahan bisa berjalan baik, sehingga timbul rasa curiga dan ketidakpercayaan.
  • Sublimation (Sublimasi): Mengubah dorongan negatif menjadi tindakan positif seperti meningkatkan kemandirian dan karir.

Meskipun sublimasi bisa menjadi mekanisme yang sehat, jika dilandasi ketidakpercayaan, dapat merusak hubungan yang seharusnya saling mendukung.

Langkah-Langkah untuk Memilih Pasangan yang Tepat

Untuk mengurangi rasa takut dan ketidakpercayaan, beberapa langkah penting perlu dilakukan:

  1. Memilih Pasangan dengan Sadar

    Cari pasangan yang memiliki nilai-nilai yang sejalan, tanggung jawab, dan kesetaraan. Jangan hanya melihat fisik atau materi, tetapi juga kepribadian dan visi bersama.

  2. Hindari Red Flag

    Hindari pasangan yang memiliki sifat negatif seperti sering berbohong, kasar, atau malas. Jika sudah bisa menerima sifat-sifat tersebut, maka itu akan menjadi bagian dari kehidupan kalian selamanya.

  3. Perhatikan Hubungan dengan Keluarganya

    Pastikan keluarga pasangan memiliki hubungan yang sehat. Kehidupan keluarga bisa memengaruhi dinamika pernikahan.

  4. Cara Mengelola Uang

    Diskusikan cara mengelola keuangan sejak awal. Pastikan kalian sepakat dalam hal nafkah, pengeluaran, dan investasi.

  5. Peran dan Tanggung Jawab

    Bahas peran suami dan istri di rumah. Pastikan keduanya saling mendukung tanpa membatasi hak masing-masing.

Pernikahan Bukanlah Penjara

Pernikahan bukanlah kompetisi atau penjara. Ia adalah bentuk ibadah kerjasama jangka panjang yang bisa langgeng jika dilakukan dengan kesadaran penuh. Meski tidak selalu mulus, setiap pasangan pasti akan menghadapi tantangan. Namun, jika dipilih dengan bijak dan dipersiapkan dengan matang, pernikahan bisa menjadi fondasi yang kuat dan bermakna.