Isu Pajak Penghasilan Anggota DPR yang Menjadi Perdebatan
Pembahasan tentang pajak penghasilan (PPh) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuri perhatian publik. Isu ini muncul setelah seorang ahli ekonomi menyampaikan pendapatnya mengenai ketidakadilan dalam sistem pajak negara. Hal ini memicu diskusi luas tentang bagaimana pemerintah menangani penerimaan pajak dan apakah semua lapisan masyarakat diperlakukan sama.
Menurut salah satu pakar, ada ketimpangan dalam pengenaan pajak. Ia menyoroti bahwa pemerintah lebih cenderung membebankan pajak kepada rakyat kecil daripada mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan lain yang lebih layak. Contoh nyata adalah kasus di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana pemerintah daerah sempat berencana menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Sementara itu, para pejabat seperti bupati, menteri, anggota DPR, hingga presiden tidak dikenakan pajak atas penghasilannya.
Menurut pendapat tersebut, hal ini menunjukkan ketidakadilan. “Masyarakat Pati harus membayar pajak, tetapi bupati tidak,” ujar Media Wahyudi Askar dari Center of Economic and Law Studies (Celios). Ia menjelaskan bahwa sesuai regulasi, gaji pejabat yang dibebankan pada APBN atau APBD tidak dikenakan pajak. Namun, ia menilai bahwa pemerintah justru mengambil jalan mudah dengan melakukan efisiensi anggaran belanja negara, termasuk transfer ke daerah (TKD), yang berdampak pada proyek strategis nasional.
Tidak hanya itu, isu pajak penghasilan anggota DPR juga terkait dengan surat edaran yang beredar. Dua dokumen penting yaitu Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 mengatur tentang tunjangan dan gaji anggota DPR RI. Dari surat tersebut diketahui bahwa anggota DPR RI menerima tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp 1.729.000 hingga Rp 2.699.813.
Namun, pemerintah secara tegas membantah informasi tersebut. Akun Instagram @cekfakta.ri yang dikelola oleh Kantor Komunikasi Kepresidenan menyatakan bahwa pernyataan Media Askar tidak benar. Mereka menegaskan bahwa tidak ada pengecualian dalam pemungutan pajak terhadap pejabat negara. Hal ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 yang diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selain itu, akun tersebut merujuk pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa pejabat tetap dikenakan tarif PPh Pasal 21. Meskipun PP ini direvisi menjadi PP Nomor 58 Tahun 2023, aturan ini tetap berlaku. Faktanya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pejabat negara tetap memiliki kewajiban untuk membayar pajak sebagaimana mestinya.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan juga memberikan pernyataan resmi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli, menegaskan bahwa anggota DPR maupun pejabat negara lainnya tetap dikenakan pajak, termasuk PPh atas gajinya. “Pajak penghasilan anggota DPR maupun pejabat negara tetap dibayarkan ke kas negara, tidak ada pembebasan pajak,” katanya.
Rosmauli menjelaskan bahwa meski ada sedikit perbedaan dalam pemotongan pajak, karena gaji dan tunjangan anggota DPR bersumber dari APBN, mekanisme pemotongan dilakukan langsung oleh instansi pemerintah melalui bendahara negara atau Kemenkeu. Dengan demikian, anggota DPR dan pejabat negara menerima penghasilan bersih, sementara pajaknya sudah masuk ke kas negara melalui APBN.
Ia menambahkan bahwa skema ini tidak hanya berlaku bagi DPR, tetapi juga bagi seluruh pejabat negara, ASN, anggota TNI/Polri, dan hakim sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu, praktik seperti ini bukan hal istimewa, karena di sektor swasta pun banyak perusahaan yang menanggung PPh karyawan mereka. “Intinya, pajak tetap dibayar ke negara, hanya mekanisme pembebanannya yang berbeda demi kepastian dan kemudahan administrasi,” tutup Rosmauli.
