APAKAH
sebaiknya seorang anak kelas 2 SD menghafal tabel perkalian, atau apakah ia sebaiknya dikenalkan dan diperbolehkan mendapatkan jawabannya dengan kalkulator atau pun Deepseek?
Atau apakah sebaiknya seorang anak SMP diperbolehkan menggunakan LLM untuk membantunya mengerjakan PR matematikanya, atau ia dilarang sama sekali untuk melakukannya?
Apakah sebaiknya seorang anak SMA masih diminta menghafalkan tabel periodisitas Kimia karya Dmitri Ivanovich Mendeleev atau sudah tidak perlu dan tidak relevan lagi karena keberadaan Grok, Gemini, ChatGPT dan yang lainnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini sungguh menggelitik.
Ketika kita masih belum mempunyai kesepakatan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dalam survei yang dilakukan Sharing Vision pada Mei–Juni 2025, terhadap 5.755 responden, ditemukan bahwa 68,5 persen pengguna AI di Indonesia menggunakan teknologi ini untuk membantu belajar, tugas sekolah, atau kuliah.
Angka ini menjadikan pendidikan sebagai medan utama penetrasi AI dalam kehidupan masyarakat.
Di atas kertas, ini tampak sebagai perkembangan menggembirakan: AI menjadi mitra belajar, bukan sekadar alat hiburan.
Namun, di balik angka yang mengesankan ini, terhampar dilema besar tentang masa depan berpikir dan kemandirian intelektual generasi kita.
Fenomena ini sejalan dengan tren global. Studi Harvard Kennedy School tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 70 persen pelajar di Amerika Serikat menggunakan AI generatif seperti ChatGPT, Grammarly, dan Notion AI dalam menyelesaikan tugas sekolah atau perkuliahan.
Di Eropa, laporan OECD pada kuartal pertama 2025 menunjukkan peningkatan 60 persen dalam penggunaan AI di kalangan pelajar selama dua tahun terakhir.
Dalam banyak hal, AI telah menjadi “guru kedua” yang tersedia 24/7, murah, dan tidak pernah kehabisan energi menjelaskan.
Namun, apakah ini benar-benar pembebasan dalam pendidikan, atau justru bentuk baru dari ketergantungan?
Di satu sisi, AI menawarkan akses pengetahuan instan, membantu memahami konsep yang rumit, memberi contoh soal, bahkan mengoreksi tulisan atau membantu menerjemahkan secara akurat.
Ini sangat membantu pelajar dari latar belakang ekonomi lemah, wilayah terpencil, atau mereka yang kesulitan mengikuti ritme kelas.
Dalam konteks ini, AI berpotensi mengurangi ketimpangan akses pendidikan dan mempersonalisasi proses belajar.
Namun di sisi lain, muncul fenomena “cognitive outsourcing”—yaitu ketika kemampuan berpikir kritis, menyusun argumen, dan memahami konsep mulai tergantikan oleh kebiasaan bertanya ke AI.
Dalam laporan Stanford Digital Education Observatory, ditemukan bahwa pelajar yang secara rutin menggunakan AI untuk mengerjakan tugas cenderung mengalami penurunan kemampuan menulis original dan kemampuan mengelola proyek tanpa bantuan digital.
Hal ini diperparah dengan data dari MIT Media Lab yang menunjukkan adanya penurunan fokus dan durasi membaca mendalam di kalangan remaja yang menggunakan AI lebih dari dua jam sehari untuk aktivitas akademik.
Survei Sharing Vision juga menunjukkan bahwa 40 persen pengguna AI di Indonesia menggunakan teknologi ini lebih dari 1 jam per hari, dan 5 persen lebih dari 4 jam per hari.
Jika mayoritas dari waktu ini digunakan untuk “belajar dengan AI”, maka perlu diwaspadai terjadinya
auto-pilot learning
—di mana siswa merasa cerdas karena mampu menjawab soal, tapi sesungguhnya tidak memahami mengapa jawaban itu benar.
Kekhawatiran ini semakin relevan ketika kita meninjau sisi etika dan orisinalitas akademik. Di berbagai negara, universitas dan sekolah kini menghadapi tantangan besar dalam membedakan mana hasil kerja siswa dan mana hasil kreasi AI.
Di beberapa kampus, seperti University of Cambridge dan Kyoto University, kebijakan baru telah diterapkan untuk membatasi penggunaan AI dalam tugas tertentu, seraya membangun kurikulum baru berbasis AI literacy dan integritas akademik.
Mari kita coba telisik lebih dalam. Hasil Survei Sharing Vision Mei–Juni 2025 terhadap 5.755 responden Indonesia mengungkapkan kenyataan mencengangkan: 68,5 persen menggunakan AI untuk membantu belajar atau menyelesaikan tugas sekolah/kuliah, 60,9 persen untuk mencari informasi atau menjawab pertanyaan harian, 39,1 persen untuk mendukung pekerjaan kantor, dan 24,3 persen untuk kegiatan kreatif.
Data ini menunjukkan bahwa AI bukan lagi sekadar alat bantu insidental, tetapi telah menjadi mitra utama dalam hampir seluruh aspek kehidupan kognitif masyarakat urban—sebuah fenomena yang bisa disebut sebagai
cognitive outsourcing.
Dalam konteks ini, kita tidak hanya berbicara tentang perubahan teknologis, tetapi juga transformasi epistemologis dan eksistensial.
Apakah manusia masih menjadi subjek yang berpikir, atau mulai menjadi makhluk yang berpikir melalui
proxy algoritma
?
Martin Heidegger dalam karyanya Sein und Zeit menekankan pentingnya kehadiran yang otentik (Eigentlichkeit), yaitu keterlibatan eksistensial dalam pemahaman dunia melalui pengalaman langsung dan refleksi.
Dengan AI yang menjadi perpanjangan permanen kesadaran digital, pelajar dan profesional mulai kehilangan relasi otentik dengan dunia.
Mereka tidak lagi “mengada di dunia” secara penuh, tapi “mengunduh makna dunia” dari antarmuka.
Ini menandai krisis Daseindalam era algoritma, ketika keberadaan menjadi otomatis, dan pertanyaan-pertanyaan mendalam digantikan oleh jawaban cepat.
Edmund Husserl, melalui
fenomenologi intensionalitas
, mengajarkan pentingnya “kembali ke benda itu sendiri” (zurück zu den Sachen selbst).
Namun, dalam praktik AI saat ini, kesadaran tidak lagi diarahkan kepada pengalaman primer, melainkan kepada hasil turunan dari sistem statistik—jawaban yang dikurasi oleh model prediktif.
Maka, proses
noesis
(pemberian makna) dipangkas, dan digantikan oleh konsumsi makna siap saji. Fenomena ini mereduksi kesadaran menjadi sekadar terminal reseptif dari narasi digital.
Berbeda arah, tetapi serupa kekhawatiran, muncul dalam pemikiran Bertrand Russell dan John Dewey.
Russell percaya pada kejernihan berpikir dan pembuktian logis, sementara Dewey memandang pendidikan sebagai proses rekonstruksi pengalaman.
Dalam dunia yang didominasi oleh AI, pelajar tidak lagi mengalami proses
trial and error
—mereka langsung diberikan “jawaban terbaik”.
Dewey pasti akan gusar melihat anak-anak yang tidak lagi belajar berpikir, melainkan sekadar mengoperasikan mesin yang berpikir untuk mereka. Ini membunuh pendidikan sebagai proses hidup dan menjadikannya sekadar layanan cepat saji.
William James dengan
radical empiricism
-nya menekankan pentingnya pengalaman langsung sebagai dasar pengetahuan. Namun, bagaimana pengalaman itu terbentuk, jika yang kita alami adalah hasil sintetis dari bahasa mesin?
Kita tidak lagi “mengalami belajar”, kita “mengalami menerima”. AI menjembatani, sekaligus mengaburkan, antara pengalaman sejati dan representasi artifisial.
Maria Montessori akan mengingatkan kita bahwa anak-anak tumbuh melalui interaksi langsung dengan dunia nyata—melalui tangan, mata, kesalahan, eksperimen, dan ketekunan.
Keterlibatan fisik dan emosional itu kini terancam ketika proses belajar direduksi menjadi percakapan dengan antarmuka.
Anak-anak Montessori membangun konsep bilangan dengan manik-manik, sementara anak digital kini meminta AI untuk menjelaskan logaritma tanpa harus merasa frustrasi atau penasaran.
Dari sudut neurosains, fenomena ini diperkuat oleh riset MIT Neuroscience Institute dan Nature Human Behaviour (2024) yang menunjukkan bahwa penggunaan AI dalam menyelesaikan tugas kognitif menurunkan aktivitas area
prefrontal cortex
—wilayah otak yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, evaluasi, dan kreativitas—hingga 30 persen setelah dua bulan penggunaan intensif.
Ini mendukung hipotesa bahwa
cognitive outsourcing
ke AI secara jangka panjang melemahkan kapasitas refleksi dan abstraksi.
Lebih lanjut, Harvard Mind, Brain and Education Journal (2025) mencatat adanya fenomena yang disebut “agency erosion”—kehilangan rasa memiliki atas proses berpikir sendiri.
Ketika siswa terbiasa dengan jawaban yang preskriptif dari AI, mereka menjadi kurang percaya diri untuk membuat kesimpulan, mempertanyakan asumsi, atau menghadapi ambiguitas. Dunia menjadi terlalu rapi, terlalu cepat, terlalu “pasti”.
Dalam jangka panjang, kita menghadapi risiko munculnya generasi yang mahir mengakses pengetahuan, tetapi lemah dalam mengalami, membentuk, dan mempertanyakan pengetahuan.
Pendidikan bukan lagi ruang kehadiran, tetapi ruang delegasi. Tanpa kehadiran, maka imajinasi dan kreatifitas maupun berpikir kritis menjadi tidak mungkin.
Dalam hal ini, lonceng kematian berdentang bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Apa yang dapat kita lakukan?
Pertama, barangkali reformasi kurikulum harus dilakukan secara mendasar dengan mengintegrasikan filsafat berpikir dan literasi digital yang kritis.
Anak-anak harus diajak memahami bagaimana AI bekerja, dari mana biasnya berasal, dan kapan AI sebaiknya tidak digunakan.
Di Perancis, mata pelajaran filsafat menjadi mata pelajaran wajib bagi seluruh siswa tingkat akhir sekolah menengah (Terminale), terutama bagi mereka yang berada di jalur humaniora (Bac L) dan sains sosial (Bac ES).
Kurikulum mencakup topik-topik seperti eksistensi, etika, politik, bahasa, sains, dan seni, serta pembacaan karya dari Kant, Rousseau, Descartes, dan Nietzsche.
Tujuannya adalah mendorong pemikiran kritis, debat terbuka, dan pemahaman konsep moral dan eksistensial.
Banyak sekolah di Inggris mengadopsi pendekatan P4C (
Philosophy for Children
) sejak usia SD, yang berfokus pada diskusi terbuka, pertanyaan kritis, dan etika.
Di tingkat SMP/SMA (Key Stage 4), terdapat kurikulum wajib General Certificate of Secondary Education (GCSE) — semacam ujian nasional yang biasanya diambil oleh siswa usia 14–16 tahun yang memuat topik filsafat moral, hak asasi manusia, hukum, dan demokrasi.
Di Finlandia, filsafat diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri di SMA (lukio) dan digabungkan dalam pembelajaran lintas disiplin di tingkat SD-SMP.
Pendidikan Finlandia menekankan “Thinking Skills” dan “Phenomenon-based Learning”, yang mencakup dimensi etis, eksistensial, dan filosofis.
Kedua, pendidikan harus mendorong pertemuan langsung dengan realitas, melalui proyek nyata, dialog mendalam, eksperimen, kesalahan, dan keraguan.
AI bisa digunakan untuk memperluas, bukan mengganti proses belajar. Kami menyebutnya sebagai
reality based education.
Ketiga, perlu diterapkan prinsip Akal Inspiratif Indonesia—yakni pemikiran bahwa teknologi harus melayani perkembangan manusia yang utuh, spiritual, kreatif, dan berpikir bebas.
AI harus digunakan dalam kerangka kesadaran etis dan eksistensial, bukan sekadar efisiensi. AI membangun manusia seutuhnya dan membangun Indonesia yang adil, merata dan sejahtera.
Dan keempat, mari kita sadari bersama bahwa pendidikan sejati adalah perjumpaan: antara manusia dan dunia, antara guru dan murid, antara pikiran dan pengalaman.
Bila AI merenggut perjumpaan itu, maka kita kehilangan lebih dari sekadar metode belajar—kita kehilangan makna menjadi manusia.
Saya yakin, ada paradigma dan kerangka kerja yang arif dan adil, yang di dalamnya AI membantu manusia Indonesia untuk memiliki kehidupan yang semakin
meaningful
(bermakna) sembari bertransformasi menjadi lebih cerdas, lebih empatik, lebih kritis maupun lebih kreatif!


