Kritik terhadap Teori Manajemen yang Tidak Sesuai dengan Budaya Lokal
Di ruang-ruang kuliah bisnis dan ekonomi di seluruh Indonesia, nama-nama seperti Robbins, Griffin, dan Stoner sering menjadi referensi utama. Mahasiswa mencatat dengan tekun, dosen menjelaskan dengan tenang, dan ujian menguji seberapa dalam mahasiswa memahami konsep seperti planning, organizing, actuating, dan controlling (POAC), teori dua faktor Herzberg, atau jalur komunikasi dalam struktur formal. Meskipun buku-buku tersebut memiliki nilai dan konsistensi teori yang baik, banyak yang bertanya: apakah semua itu cocok untuk lingkungan kita?
Teori manajemen modern lahir dari latar belakang budaya tertentu. Di abad ke-20, perkembangan teori ini berjalan di tengah revolusi industri Eropa, rasionalitas ekonomi Taylorisme dan Fordisme, serta budaya individualistik Amerika Serikat. Akibatnya, teori-teori ini berfokus pada efisiensi, rasionalitas, dan hasil. Namun, di Indonesia, situasi tidak selalu sama. Banyak organisasi yang dikelola dengan prinsip hubungan, kehormatan, dan rasa, bukan sekadar rencana strategis.
Manajemen sebagai Ilmu yang Berakar pada Budaya
Ilmu manajemen sering dianggap universal, namun sesungguhnya ia lahir dari nilai, tumbuh dari kebiasaan, dan berjalan di atas budaya. Di ruang kuliah, kita diajari bahwa manajemen adalah tentang efisiensi, rasionalitas, dan hasil. Namun, jarang sekali kita diajak bertanya: dari nilai mana semua itu lahir? Di Indonesia, manajemen lebih berkaitan dengan logika hubungan, kehormatan, dan rasa. Kita adalah masyarakat ‘high-context’, tempat makna sering dipahami melalui jeda, nada, dan sikap.
Gareth Morgan dalam Images of Organization menegaskan bahwa metafora yang kita gunakan untuk memahami organisasi membentuk cara kita bertindak di dalamnya. Jika kita terus memandang organisasi sebagai mesin, maka kita akan mengukur keberhasilan hanya dengan angka dan grafik. Namun, organisasi juga bisa dipahami sebagai keluarga, budaya, atau komunitas. Di Indonesia, organisasi lebih menyerupai komunitas daripada mesin. Lebih banyak “rasa” daripada “rumus”.
Budaya Indonesia dalam Manajemen
Geert Hofstede dalam riset lintas budayanya mencatat bahwa Indonesia memiliki skor tinggi dalam ‘power distance’. Artinya, masyarakat kita terbiasa hidup dalam struktur bertingkat: yang tua dihormati, yang lebih tinggi dijaga martabatnya, dan yang berada di bawah belajar menunduk sebelum bicara. Kita juga tinggi dalam ‘uncertainty avoidance’, bukan karena takut gagal, melainkan karena stabilitas dianggap aman dan perubahan yang terlalu cepat sering dicurigai sebagai bentuk ketidaksopanan terhadap tatanan.
Skor individualisme Indonesia tergolong rendah, tetapi bukan berarti kita tidak bisa mandiri. Sejak kecil, kita diajari bahwa keselamatan satu orang bukanlah kemenangan. Keberhasilan sejati adalah ketika semua bisa pulang dengan wajah cerah. Indonesia juga rendah dalam maskulinitas. Kita lebih menyukai harmoni daripada kompetisi terbuka. Kemenangan bukan hanya soal hasil, tapi juga tentang cara mencapainya: tanpa meninggalkan, tanpa menyikut, dan tetap menjaga muka orang lain.
Perlu Model Hibrida dalam Pendidikan Manajemen
Ketika teori manajemen Barat mengagungkan transparansi, kompetisi, dan kepemimpinan partisipatif, mereka lupa bahwa di tempat kita, bicara terlalu jujur bisa dianggap kurang ajar, menyampaikan ide terlalu cepat bisa dinilai tak tahu diri, dan mengambil keputusan tanpa diskusi bisa dianggap melangkahi yang dituakan. Kita hidup dalam ekosistem organisasi yang tidak selalu rasional, tapi bukan berarti irasional. Ia bekerja dengan logika yang berbeda: logika rasa, relasi, dan ruang diam.
Bayangkan seorang manajer muda lulusan program MBA, diajari untuk “speak up”, “take charge”, dan “challenge the status quo”, lalu ditempatkan di kantor pemerintah daerah, diminta menyusun reformasi birokrasi. Maka, ia pun membuka rapat dengan kritik tajam, mengusulkan restrukturisasi, dan menutup dengan kalimat tegas: Mari kita geser semua yang tidak efektif. Isi pidatonya mungkin benar, tapi aranya keliru. Dalam sistem nilai yang tidak tertulis, ia telah melanggar batas yang tak pernah diajarkan di modul bahwa dalam organisasi Indonesia, keputusan tidak hanya bersifat rasional, tapi juga ritual. Tidak hanya efisien, tapi juga etis. Tidak hanya logis, tapi juga harus terasa pantas.
Menulis Ulang dan Membangun Silabus yang Relevan
Sudah waktunya buku teks manajemen kita diberi napas lokal. Bukan hanya agar terasa dekat, tapi agar punya akar. Bukan hanya meniru struktur organisasi multinasional, tapi memahami bahwa masyarakat kita telah lama menjalankan praktik manajerial, tanpa pernah menyebutnya begitu. Kita perlu menulis ulang. Mengembangkan. Mengintegrasikan yang global dan menyadari yang lokal.
Model hibrida sangat penting. Teori Barat tetap relevan, asalkan ditanam dengan bijak di tanah kita sendiri. Pengambilan keputusan berbasis data bisa dikombinasikan (secara hibrida) dengan musyawarah mufakat. Balanced Scorecard bisa diberi dimensi nilai sosial, loyalitas tim, dan harmoni. Analisis SWOT bisa dipadukan dengan rembuk warga. Teori motivasi Herzberg bisa diperkaya dengan silaturahmi, pengabdian, dan niat ibadah; motivasi yang sering jadi fondasi kerja di organisasi sosial dan keagamaan kita.
Pertanyaannya kini bukan lagi, apakah teori manajemen Barat salah. Akan tetapi, di mana letak Indonesia dalam kampus dan silabus? Mengapa mahasiswa bisnis di Sumatra mempelajari Wal-Mart, tapi tidak pernah meneliti koperasi petani di kampungnya sendiri? Mengapa mahasiswa manajemen di Jogja hafal struktur Amazon, tapi tak pernah tahu bagaimana pesantren mengelola ribuan santri dengan nilai dan efisiensi?
Budaya sebagai Inti dari Manajemen
Budaya kita bukan beban. Ia adalah sumber ilmu yang belum diberi nama. Maka, jika ingin membentuk pemimpin sejati, ajarkan mereka teori, lalu bawa mereka menyentuh Bumi, tempat manajemen sebenarnya telah lama hidup. Seperti ditulis Edgar Schein dalam Organizational Culture and Leadership, “Budaya bukan sekadar salah satu variabel dalam manajemen. Budaya adalah inti, tempat seluruh proses manajemen berlangsung.”
