Kritik terhadap Respons Pemerintah atas Pengibaran Bendera One Piece
Pengibaran bendera bergambar tengkorak dari serial anime Jepang One Piece telah menjadi sorotan di media sosial menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-80. Fenomena ini menimbulkan berbagai respons, termasuk kritik dari organisasi seperti Amnesty International dan akademisi yang menilai tindakan pemerintah terlalu keras dalam menyikapi ekspresi masyarakat.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad sebelumnya mengimbau masyarakat untuk tidak membandingkan simbol bendera One Piece dengan Bendera Merah Putih. Menurutnya, pengibaran bendera tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memecah belah persatuan bangsa. Ia menyatakan bahwa bendera tersebut digunakan oleh sebagian pihak untuk melakukan hal-hal yang dinilai dapat mengganggu stabilitas nasional.
Namun, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa ekspresi damai melalui pengibaran bendera bukanlah tindakan makar atau upaya memecah belah bangsa. Menurutnya, respons pemerintah dan aparat terhadap fenomena ini terkesan berlebihan, terutama karena adanya razia dan ancaman pidana terhadap warga yang mengibarkan bendera tersebut.
Usman menekankan bahwa mengibarkan bendera One Piece sebagai medium penyampaian kritik merupakan bagian dari hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin oleh Konstitusi serta instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Ia juga mengkritik tindakan aparat yang menyita bendera di Tuban dan menghapus mural One Piece di Sragen, yang ia anggap sebagai bentuk represi dan pengekangan kebebasan berpendapat.
Menurut Usman, pemerintah seharusnya lebih fokus pada akar masalah yang membuat masyarakat memilih mengibarkan bendera tersebut. Ia menyarankan agar aparat melihat fenomena ini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, bukan sebagai ancaman. Sebagai negara yang telah meratifikasi instrumen HAM internasional seperti ICCPR, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi dan menyediakan ruang aman bagi masyarakat dalam menyampaikan pendapat secara damai.
Selain itu, Ubedilah Badrun, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menilai bahwa pengibaran bendera bajak laut bertopi jerami tidak perlu direspons secara berlebihan. Ia menekankan bahwa fenomena ini adalah bentuk ekspresi politik dan sosial masyarakat, terutama generasi muda. Anak muda, lanjut dia, lebih akrab dengan simbol-simbol budaya populer untuk menyampaikan keresahan mereka. Setiap simbol yang muncul di arena publik, termasuk media sosial, dianggap sebagai bentuk ekspresi yang memiliki makna kritik atau perlawanan terhadap pemerintah.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Budi Gunawan sebelumnya memperingatkan konsekuensi hukum bagi tindakan yang mencederai kehormatan bendera Merah Putih. Ia merujuk pada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, yang melarang pengibaran bendera negara di bawah simbol atau lambang lain. Budi menegaskan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan tegas jika ada unsur kesengajaan dan provokasi demi menjaga ketertiban dan kewibawaan simbol negara.
Di sisi lain, Kepolisian Daerah Banten mengancam akan bertindak tegas terhadap warga yang sengaja mengibarkan bendera One Piece di momen peringatan HUT RI. Wakapolda Banten Brigjen Hengki menyatakan bahwa jika ada terbukti melakukan pelanggaran dan tidak menggunakan Bendera Merah Putih, pihak berwajib akan menindak tegas.
Respons pemerintah terhadap fenomena ini menunjukkan keraguan terhadap kebebasan berekspresi, meskipun beberapa pihak melihatnya sebagai bentuk kritik terhadap situasi sosial dan politik saat ini. Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk menciptakan ruang dialog yang sehat dan menghargai berbagai bentuk ekspresi masyarakat, tanpa mengabaikan nilai-nilai kebangsaan.


