AI di Ambang Batas? Ahli Sebut Teknologi Mulai Mandek

Posted on

Kritik terhadap Perkembangan Teknologi Kecerdasan Buatan

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) selama beberapa tahun terakhir telah menjadi sorotan utama di berbagai sektor. Meskipun AI dianggap sebagai salah satu inovasi paling menjanjikan, kini muncul kritik yang menyatakan bahwa perkembangan teknologi ini mulai mengalami stagnasi. Peluncuran GPT-5 oleh OpenAI, yang sebelumnya diharapkan menjadi lompatan besar dalam pengembangan AI, justru tidak sepenuhnya memenuhi ekspektasi. Banyak pengamat dan ahli teknologi mengungkapkan kekecewaan terhadap model terbaru ini, karena dinilai tidak memberikan perubahan signifikan dibandingkan pendahulunya.

Kekecewaan terhadap GPT-5 dan Batas Kemajuan AI

GPT-5, yang dirancang untuk menjadi versi tercanggih dari model AI sebelumnya, tidak menunjukkan peningkatan yang mencolok. Gary Marcus, seorang ilmuwan saraf dan kritikus terkenal terhadap OpenAI, menyampaikan pandangannya pada 16 Agustus 2025. Ia menilai bahwa meskipun model ini memiliki performa teknis yang lebih baik, dampak praktisnya masih terbatas. “Saya melihat bahwa AI saat ini lebih fokus pada penyempurnaan teknis daripada terobosan nyata,” ujarnya. Menurut Marcus, AI belum mampu memberikan manfaat signifikan bagi perusahaan atau industri yang menggunakan teknologi ini.

Kritik ini tidak hanya datang dari individu, tetapi juga dari komunitas riset secara luas. Banyak ahli percaya bahwa kemajuan AI saat ini sudah mendekati titik jenuh. Meskipun model-model baru mampu menangani tugas-tugas kompleks seperti analisis data dan pembuatan konten, tantangan dalam mengintegrasikannya ke dalam solusi dunia nyata masih sangat besar. Hal ini memicu pertanyaan apakah AI benar-benar bisa mencapai kecerdasan umum buatan (AGI) dalam waktu dekat.

Investasi Besar, Hasil Minim: Fokus pada Keuntungan Finansial

Raksasa teknologi seperti OpenAI, Anthropic, dan lainnya telah menggelontorkan dana miliaran dolar untuk membangun infrastruktur AI. Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa dengan sumber daya yang cukup, AI dapat mencapai AGI. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pendekatan ini belum membuahkan hasil yang diharapkan. Banyak perusahaan teknologi AI tampaknya lebih memprioritaskan pertumbuhan finansial cepat ketimbang inovasi teknologi murni.

Seorang analis teknologi independen, Dr. Anita Sari, menyampaikan pandangannya pada 16 Agustus 2025. Ia menilai bahwa banyak perusahaan AI kini terjebak dalam perlombaan untuk menghasilkan keuntungan secepat mungkin, bukan menciptakan terobosan yang berkelanjutan. Survei yang dilakukan pada Maret 2025 terhadap 475 peneliti AI di berbagai institusi global juga mendukung pandangan ini. Survei tersebut menyimpulkan bahwa pendekatan pengembangan AI saat ini, yang sangat bergantung pada peningkatan skala komputasi, kemungkinan besar tidak akan menghasilkan AGI dalam waktu dekat.

Tantangan Etis dan Teknologi dalam Pengembangan AI

Selain tantangan teknis, perkembangan AI juga menghadapi isu etis yang semakin kompleks. Salah satu kekhawatiran adalah potensi AI untuk menimbulkan dampak sosial yang tidak diinginkan, seperti penyalahgunaan data atau pengambilan keputusan yang bias. Beberapa pakar menyarankan pendekatan baru untuk memitigasi risiko ini, termasuk mengintegrasikan prinsip-prinsip etika ke dalam desain AI.

Dr. Budi Santoso, akademisi dari Universitas Indonesia, mengusulkan konsep yang tidak biasa pada 15 Agustus 2025. Ia menyarankan agar AI dilengkapi dengan elemen naluri keibuan, seperti empati dan tanggung jawab, agar sistem AI lebih manusiawi dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini, meskipun terdengar tidak konvensional, mencerminkan upaya untuk menjembatani kesenjangan antara kemampuan teknis AI dan nilai-nilai kemanusiaan.

Konsumsi Energi dan Dampak Lingkungan

Konsumsi energi yang besar menjadi hambatan lain dalam pengembangan AI. Biaya pelatihan model AI besar seperti GPT-5 diperkirakan mencapai ratusan juta dolar, dengan konsumsi energi yang setara dengan kebutuhan listrik sebuah kota kecil. Kritik dari kelompok lingkungan pun semakin meningkat. Sarah Widodo, aktivis lingkungan dari GreenTech Indonesia, menyoroti dampak karbon dari pusat data AI. “Kita tidak hanya berbicara tentang stagnasi teknologi, tetapi juga dampak lingkungan yang serius,” ujarnya.

Masa Depan AI: Antara Harapan dan Realitas

Ke depan, prospek pengembangan AI tampaknya berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, investasi besar dan kemajuan teknis terus mendorong batas-batas kemampuan AI, seperti dalam pengolahan bahasa alami, pengenalan gambar, dan analisis data. Namun, di sisi lain, stagnasi dalam terobosan besar dan tantangan etis menimbulkan keraguan tentang apakah pendekatan saat ini dapat membawa AI ke level berikutnya.

Para peneliti menekankan perlunya paradigma baru, seperti pengembangan AI yang lebih hemat energi atau algoritma yang lebih adaptif terhadap kebutuhan dunia nyata. “Kita perlu berpikir di luar pendekatan tradisional, seperti hanya menambah chip dan data,” ujar Dr. James Lin pada 10 Maret 2025. Beberapa startup teknologi, seperti xAI, sedang mengeksplorasi pendekatan alternatif, termasuk model AI yang lebih efisien dan fokus pada aplikasi spesifik seperti penelitian ilmiah atau otomatisasi industri.

Sementara itu, masyarakat diharapkan terus memantau perkembangan AI dengan kritis, memastikan bahwa teknologi ini tidak hanya menjadi alat untuk keuntungan finansial, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi kemanusiaan. Dengan tantangan yang ada, baik dari sisi teknis maupun etis, perjalanan menuju AI yang benar-benar cerdas tampaknya masih panjang dan penuh rintangan.