Investasi Naik, Serapan Tenaga Kerja Rendah, Ekonom Jelaskan

Posted on

Peningkatan Investasi di Indonesia Tidak Diikuti Penciptaan Lapangan Kerja

PasarModern.com – Dalam situasi perekonomian yang terus berkembang, Indonesia mencatatkan peningkatan investasi sebesar 15 persen pada kuartal pertama 2025. Namun, hal ini justru memicu kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja. Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin, menyoroti ketimpangan antara tingginya angka investasi dan rendahnya serapan tenaga kerja.

Dari total investasi sebesar Rp 486 triliun yang masuk, hanya sekitar 600 ribu tenaga kerja yang terserap. “Artinya, dibutuhkan sekitar Rp 700 juta investasi untuk merekrut satu tenaga kerja. Ini angka yang sangat mahal,” ujarnya.

Penyebab Rendahnya Serapan Tenaga Kerja

Menurut ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, rendahnya serapan tenaga kerja di tengah peningkatan investasi bukanlah fenomena yang terjadi di Indonesia saja. Ia menyatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia saat ini sebesar 4,76 persen, sedangkan di Amerika Serikat hanya 4,1 persen. Jadi, perbedaannya tidak terlalu besar.

Ia menjelaskan bahwa penyebab utama minimnya perekrutan tenaga kerja adalah ketidakpastian global dan domestik. Saat ini, dunia berada dalam situasi VUCA (volatile, uncertain, complex, and ambiguous) yang penuh gejolak, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas di berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, teknologi, lingkungan, dan hukum. Dalam situasi seperti itu, wajar jika perusahaan enggan menambah jumlah karyawan.

Ketidakcocokan Antara Tenaga Kerja dengan Dunia Usaha

Ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahyu Widodo, juga menyampaikan pandangan serupa. Menurutnya, tingginya investasi belum sepenuhnya mampu menekan angka pengangguran. Ia menilai isu ini kompleks dan harus dilihat secara cermat dan berbasis data.

“Secara statistik, peningkatan investasi adalah kabar baik. Namun, tetap harus disadari bahwa ada masalah struktural di sektor ketenagakerjaan kita,” tegasnya. Salah satu tantangan utamanya adalah mismatch atau ketidakcocokan antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan dunia usaha dan industri (DUDI).

Pendidikan Belum Menjawab Kebutuhan Dunia Usaha

Wahyu juga menyoroti bahwa lulusan SMK dan kelompok usia 15–24 tahun masih menjadi penyumbang tertinggi angka pengangguran. Masalah ini terus berulang dari tahun ke tahun. Idealnya, kebutuhan tenaga kerja harus dijawab oleh dunia pendidikan dan bahkan masuk dalam perencanaan strategis pemerintah.

Selain itu, tidak semua investasi yang masuk bersifat padat karya. Sebagian besar adalah padat modal dan teknologi, sehingga penyerapan tenaga kerjanya lebih terbatas. Namun, Wahyu menegaskan bahwa kuncinya tetap pada pemetaan kebutuhan dunia usaha dan penyesuaian kurikulum pendidikan.

Pentingnya Sinergi antara Dunia Usaha dan Pendidikan

Ia menekankan bahwa selama tidak ada sinergi antara DUDI dan dunia pendidikan, masalah mismatch akan terus berulang. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pihak-pihak terkait untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan industri.

Dengan demikian, meskipun investasi meningkat, penting bagi pemerintah dan pelaku bisnis untuk terus memperhatikan aspek ketenagakerjaan agar dapat menciptakan keseimbangan yang lebih baik antara pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *