Sikap Parpol dan DPR terhadap Putusan MK Pemilu Terpisah

Posted on

Putusan MK yang Mengubah Tatanan Pemilu

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Uji materi ini diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan bahwa penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan secara terpisah dari penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota.

Menurut putusan tersebut, pemilu lokal harus diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Hal ini menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai pihak, termasuk partai politik dan lembaga legislatif.

Tanggapan dari Partai Politik

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menyatakan bahwa para ketua umum partai politik (parpol) belum berkomunikasi membahas putusan MK tersebut. “Belum, belum,” kata Cak Imin kepada wartawan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin malam, 14 Juli 2025. Ia menegaskan bahwa PKB menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut dalam bentuk revisi Undang-Undang Pemilu.

Cak Imin menekankan pentingnya revisi UU Pemilu sebagai bagian dari kebutuhan dan perkembangan zaman. Salah satu fokus PKB adalah agar ada pasal-pasal yang mengurangi suburnya transaksi jual beli suara. Sanksinya diperberat, pengawasannya diperketat, serta mekanisme penyelenggaranya diperkuat. Ia bahkan menyarankan agar partai-partai politik menjadi pengawas langsung KPU.

Partai Demokrat Memilih Sikap Hati-hati

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menyatakan bahwa partainya masih mengkaji secara mendalam putusan MK. Menurutnya, putusan MK menuai pro dan kontra serta memunculkan pertanyaan mengenai kewenangan Mahkamah dalam membuat norma hukum baru. “Pro-nya ini kesempatan untuk berfokus pada pemilihan skala nasional dan skala daerah. Kontranya banyak yang menganggap MK justru menyalahi kewenangannya,” ujar Dede.

Dia juga menyebutkan bahwa MK telah membuat norma-norma baru yang berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, Partai Demokrat belum mengambil sikap definitif, tetapi tetap berpegang pada prinsip putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Dede juga menyinggung kemungkinan munculnya keputusan lanjutan, seperti soal ambang batas parlemen, yang bisa mengubah arah strategi partai.

Komisi II DPR Usulkan Pembahasan Segera

Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima mengatakan komisinya akan segera mengusulkan kepada pimpinan DPR agar pembahasan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah segera dimulai dengan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Ia menekankan pentingnya partisipasi intelektual kampus dan non-kampus dalam pengembangan sistem demokrasi.

Meski pembahasan harus dimulai secepatnya, Aria menekankan bahwa finalisasi undang-undang berkaitan dengan putusan MK tidak boleh terburu-buru. Alasannya, DPR ingin sebanyak-banyaknya masukan dan partisipasi publik dalam penyusunan UU tersebut. Ia menilai kesalahan dalam penyusunan UU tersebut akan berdampak panjang, karena itu penyusunan UU tersebut harus komprehensif.

Turbulensi Konstitusi Akibat Putusan MK

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menilai putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal menyebabkan bukan hanya kegaduhan, tetapi juga kebingungan dalam implementasi. Menurut dia, amar putusan dan pertimbangan hukum putusan MK berpotensi mengangkangi konstitusi apabila harus diadopsi oleh DPR dalam membahas revisi UU Pemilu.

Rifqi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Namun, MK dalam putusannya memisahkan pelaksanaan pemilu serta memerintahkan pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan pemilu secara terpisah antara nasional dan lokal. “Pemilu lokal harus dilaksanakan 2 sampai 2,5 tahun setelah pemilu nasional,” ujar Rifqi.

Ia menegaskan bahwa penyelenggaraan pemilu lokal yang terpisah berdampak pada masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil pemilu 2024 yang berpotensi diperpanjang. Opsi perpanjangan masa jabatan tersebut berpotensi mengangkangi konstitusi. Sebab, tidak ada aturan hukum yang dapat mengatur perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. “Secara pribadi saya tidak ingin melaksanakan putusan ini,” ucapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *