Presiden Kamerun Paul Biya Siap Bersaing di Pemilu 2025
Presiden Kamerun, Paul Biya, yang kini berusia 92 tahun, sedang bersiap untuk mencalonkan diri kembali dalam pemilu Oktober mendatang. Jika terpilih, Biya akan memperpanjang masa kekuasaannya menjadi 49 tahun dan tetap berada di tampuk kekuasaan hingga nyaris berusia 100 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak hanya memegang jabatan selama lebih dari empat dekade, tetapi juga ingin memperluas wewenangnya.
Di usia 92 tahun, kebanyakan orang cenderung memilih untuk pensiun dan menikmati hidup tenang bersama keluarga. Namun, bagi Paul Biya, hal tersebut tidak berlaku. Ia justru memutuskan untuk kembali mencalonkan diri dalam pemilu 2025, langkah yang bisa membuatnya memegang kekuasaan hingga usia 99 tahun. Ini akan menjadi periode kedelapan yang ia jalani sebagai presiden negara Afrika Tengah tersebut.
Riwayat Kepemimpinan yang Panjang
Paul Biya bukanlah tokoh baru di panggung politik. Ia telah memimpin Kamerun sejak 1982 dan menjadi salah satu kepala negara dengan masa jabatan terlama di dunia. Selama masa kepemimpinannya, ia pernah menghadapi berbagai tantangan, termasuk transisi dari sistem satu partai menuju politik multipartai dan keberhasilan menavigasi krisis ekonomi di masa lalu.
Dalam pernyataan resmi di platform X (dulu Twitter), ia menyebut keputusannya mencalonkan diri kembali sebagai respons atas permintaan yang banyak dan mendesak dari 10 wilayah Kamerun serta komunitas diaspora. “Saya adalah kandidat untuk pemilihan presiden 12 Oktober 2025. Yakinlah bahwa tekad saya untuk melayani Anda sepadan dengan tantangan berat yang kita hadapi,” ujarnya. Ia juga menambahkan, “Bersama-sama, tak ada tantangan yang tak bisa kita hadapi. Yang terbaik masih akan datang.”
Biya telah menjadi kandidat de facto Gerakan Demokratik Rakyat Kamerun (CPDM), di mana ia merupakan pemimpin partai. Meskipun begitu, pemerintahannya telah lama dikritik karena isu seperti korupsi, tata kelola yang buruk, dan meningkatnya ketidakamanan. Salah satu titik balik besar terjadi pada tahun 2008, ketika perubahan konstitusi menghapuskan batas masa jabatan presiden, yang membuka jalan bagi kekuasaan yang tak berujung.
Isu Kesehatan dan Tantangan Politik
Isu kesehatan presiden juga menjadi perhatian. Tahun lalu, Biya menghilang dari sorotan publik selama enam minggu, mendorong otoritas melarang media memberitakan kondisi kesehatannya. Kesehatan pemimpin negara bahkan disebut sebagai isu keamanan nasional dan pelanggar larangan tersebut diancam dengan tindakan hukum.
Di balik rencana pencalonannya, Biya menghadapi tantangan serius, baik dari dalam pemerintahan maupun rakyatnya sendiri. Dua tokoh politik penting, Menteri Ketenagakerjaan, Issa Tchiroma Bakary dan mantan Perdana Menteri, Bello Bouba Maigari telah memutuskan keluar dari koalisi dan mencalonkan diri untuk Persatuan Nasional untuk Demokrasi dan Kemajuan (NUDP). Keputusan ini mencerminkan retaknya dukungan dari wilayah utara, yang selama ini menjadi basis kuat kekuasaan Biya.
Kondisi sosial-politik di Kamerun pun terus memanas. Masyarakat menghadapi krisis biaya hidup, tingginya angka pengangguran, dan keterlambatan pelaksanaan pemilu legislatif yang semestinya digelar tahun 2024, namun ditunda hingga 2026. Di sisi lain, kelompok-kelompok hak asasi manusia menyoroti kerasnya penindakan terhadap perbedaan pendapat dan aksi protes.
Konflik Berkepanjangan dan Ketidakpercayaan Publik
Salah satu konflik berkepanjangan yang masih membayangi adalah pemberontakan separatis di wilayah berbahasa Inggris. Ketegangan ini bermula dari protes terhadap diskriminasi yang dialami komunitas Anglophone dalam struktur pemerintahan yang didominasi oleh penutur bahasa Perancis. Ketidakhadiran Biya dalam sejumlah momen krusial, seperti kecelakaan kereta api fatal tahun 2016 dan respons terhadap protes-protes tersebut, semakin memperuncing ketidakpercayaan publik.
Meski Partai Gerakan Demokratik Rakyat Kamerun yang berkuasa tetap solid mendukung Biya, muncul pertanyaan besar apakah negara dengan lebih dari 28 juta jiwa ini masih bisa dipimpin efektif oleh satu sosok yang telah memegang kekuasaan lebih dari empat dekade.
Latar Belakang Biya
Paul Biya lahir pada 13 Februari 1933 di desa kecil di Kamerun Selatan. Dari lingkungan keluarga miskin, kariernya sebagai presiden bermula. Saat berusia 7 tahun, seorang tutor di gereja Katolik mengatakan bahwa pekerjaan yang dilakukan Biya sangat bagus. Dia berpendapat bahwa Biya layak menjadi ketua. Sampai pada usia remaja, Biya mendapatkan beasiswa di sekolah paling bergengsi yang ada di Kamerun, Lycee General Leclerc in Yaounde.
Di sana, Biya selalu mendapatkan nilai tertinggi, yang mengantarkannya mendapatkan beasiswa di Institut d’Etudes Politiques de Paris dan lulus pada 1961. Karier politik Biya dimulai saat dirinya berhasil memimpin Cameroon National Union (CNU) dan menjabat sebagai direktur kabinet Menteri Pendidikan Nasional pada 1964. Satu tahun berikutnya, dia diangkat menjadi Sekretaris Departemen Pendidikan Nasional, yang akhirnya mengantarkannya menjadi direktur sipil Kabinet Presiden pada 1967.
Karier Biya terus melonjak hingga menjadi Sekertaris Jenderal Presiden pada tahun 1968, dan menjadi Perdana Menteri di negara kesatuan Kamerun pada tahun 1975. Pada tahun 1982, Presiden Ahmadou Ahidjo mengundurkan diri dari jabatannya. Secara otomatis Biya menggantikan posisinya sebagai presiden. Selama masa kepemimpinannya, Biya banyak mendapatkan kritikan. Perekonomian Kamerun seketika anjlok. Hubungan bilateral dengan beberapa negara tetangga juga terganggu. Minyak, kakao, kapas, kopi, dan kelapa sawit sebagai ekspor utama Kamerun mengalami penurunan yang drastis. Penurunan drastis ini dialami Kamerun sembilan tahun berturut-turut.
Tak hanya dalam bidang ekonomi, dalam bidang ketenagakerjaan, Biya banyak memberhentikan karyawan-karyawan dari berbagai pekerjaan. Akhirnya pada 1988, Biya meminjam dana moneter internasional sebagai dana talangan bagi negaranya. Hingga pada tahun 1996 pertumbuhan ekonomi Kamerun kembali tumbuh secara perlahan-lahan. Dalam masa krisis tersebut, Kamerun dan Nigeria sempat berperang atas persengketaan minyak, namun sepuluh tahun kemudian, yakni pada 2006, Mahkamah Internasional menyatakan kemenangan atas hak kekuasaan minyak bagi Kamerun.


