“Aromanya bikin lapar, Ma, boleh nambah lagi?”
Itu kalimat sederhana yang paling sering saya dengar setiap akhir pekan dari anak saya. Bukan dari restoran atau katering mahal, tapi dari dapur kecil di rumah kami. Resep nasi kebuli yang awalnya hanya saya buat untuk menggugah selera makan anak, kini perlahan berkembang menjadi peluang usaha kecil. Bukan besar, belum viral, tapi cukup memberi makna dan tambahan tabungan sedikit demi sedikit.
Sebagai ibu yang juga bekerja, saya terbiasa membagi waktu antara urusan rumah, pekerjaan, dan keluarga. Hari kerja saya cukup padat, kadang sampai malam. Tapi saat akhir pekan tiba, saya memilih untuk tidak hanya rebahan atau sekadar scroll media sosial. Saya isi dengan hal yang saya suka: memasak.
Nasi kebuli jadi salah satu menu favorit anak saya. Bumbunya kaya, aromanya menggoda, dan ketika dimasak dengan hati—rasanya bisa bikin siapa pun rindu rumah. Anak saya pun selalu semangat saat tahu menu weekend adalah nasi kebuli. Dari sinilah saya terpikir, mengapa tidak coba membuka pre-order kecil-kecilan? Tidak untuk kaya raya, tapi untuk menyalurkan hobi sekaligus menambah penghasilan sampingan.
Dari Cinta Masak ke Cuan Ringan
Saya mulai membuat flyer digital sederhana di Canva, menampilkan foto nasi kebuli lengkap dengan acar dan sambalnya. Saya unggah ke status WhatsApp dan Instagram pribadi. Saya buka PO hanya untuk hari Sabtu dan Minggu, dengan sistem pemesanan H-1. Saya tidak mau memaksakan terlalu banyak pesanan agar tetap bisa mengontrol rasa, kualitas, dan tentunya tenaga.
Responnya di luar dugaan. Teman, tetangga, mulai ikut memesan. Dalam seminggu, saya bisa menjual sekitar 10–15 porsi. Modalnya masih kecil, keuntungannya juga belum besar. Tapi cukup untuk menambah saldo tabungan atau sekadar mengganti gas dan minyak goreng yang makin hari makin naik harganya.
Yang membuat saya bertahan bukan hanya karena uang, tapi karena rasa puas saat pelanggan bilang, “Nasi kebulimu enak banget, rasanya beda!” atau “Anak saya yang susah makan sampai habis sepiring.” Rasanya ada kepuasan batin yang tak bisa diganti oleh nominal uang.
Belajar Pelan-Pelan, Tapi Konsisten
Sebagai solopreneur akhir pekan, saya belajar banyak hal yang tak saya dapat di dunia kerja formal. Saya belajar menentukan harga yang adil antara modal dan keuntungan, belajar mengatur waktu masak agar tetap bisa istirahat, belajar menerima kritik dari pelanggan, dan belajar menyusun strategi kecil agar stok bahan selalu segar.
Saya juga menyadari pentingnya menjaga kepercayaan pelanggan. Karena saya bukan bisnis besar, kekuatan saya ada di konsistensi rasa dan keramahan pelayanan. Saya selalu berusaha membalas pesan dengan sopan dan cepat, memberikan info jelas soal waktu pengambilan atau pengiriman, dan tentunya, tidak pernah mengubah resep seenaknya.
Saya juga menyisihkan sebagian keuntungan untuk ditabung, walau jumlahnya tidak seberapa. Tapi prinsip saya, usaha sekecil apa pun yang dilakukan dengan jujur dan konsisten, insya Allah akan membawa keberkahan. Tabungan itu suatu saat mungkin bisa dipakai untuk hal yang lebih besar: ikut pelatihan masak atau beli peralatan dapur baru impian.
Anak Sebagai Inspirasi
Yang membuat usaha ini semakin berarti adalah keterlibatan anak saya. Dia bukan hanya pencicip tetap nasi kebuli buatan ibunya, tapi juga motivator diam-diam. Ia sering membantu membungkus kemasan, menempelkan stiker nama, atau sekadar duduk menemani saya sambil cerita-cerita. Ketika ia berkata, “Mama hebat, bisa kerja dan jualan,” hati saya hangat. Usaha ini bukan hanya untuk penghasilan tambahan, tapi juga contoh kecil bahwa ibu bisa produktif tanpa meninggalkan rumah.
Bagi saya, menjadi solopreneur bukan soal besar kecilnya usaha. Tapi soal keberanian untuk mulai, konsistensi menjaga kualitas, dan komitmen terhadap proses. Saya tahu banyak orang yang ingin punya usaha, tapi bingung harus mulai dari mana. Jawaban saya sederhana: mulai saja dari apa yang kamu sukai.
Bisa dari hobi, dari kebutuhan keluarga, atau dari celah kecil di sekitar kita. Usaha saya memang baru di akhir pekan, hanya nasi kebuli, dan tidak pakai etalase mewah. Tapi dari sinilah saya belajar banyak hal tentang ketekunan, rasa syukur, dan pentingnya membangun mimpi perlahan-lahan.
***
Saya tidak tahu ke mana usaha nasi kebuli ini akan membawa saya dalam lima atau sepuluh tahun ke depan. Tapi saya percaya satu hal: bahwa usaha yang dimulai dari hati, dilakukan dengan sabar, dan disyukuri setiap hasilnya, akan selalu menemukan jalannya sendiri.
Jika kamu sedang berpikir untuk memulai sesuatu, mungkin akhir pekan ini bisa jadi awalnya. Tidak perlu menunggu modal besar atau rencana sempurna. Cukup mulai, nikmati prosesnya, dan biarkan langkah kecilmu tumbuh jadi cerita besar di kemudian hari.


