Drama PPDB 2025, di Karanganyar cari calon siswa SD sampai ketuk-ketuk pintu rumah warga, di Kota Batu Jawa Timur ramai gelombang merger sekolah
– Di tengah gemuruh perubahan zaman dan gemerlapnya sekolah-sekolah favorit, sebuah sekolah kecil di Karanganyar, Jawa Tengah, tengah berjuang mempertahankan eksistensinya. SDN 2 Wonorejo kini tinggal bayang-bayang kejayaan masa lalu—hanya lima siswa yang mendaftar sejak dibukanya Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2 Juni 2025.
Lima. Ya, hanya lima anak dari generasi penerus bangsa yang akan mengisi bangku kosong di sekolah yang pernah menjadi harapan banyak orang tua desa.
Kenyataan ini memaksa para guru untuk turun langsung ke lapangan, bukan ke podium atau ruang kelas, melainkan dari pintu ke pintu. Mereka mengetuk rumah-rumah warga, dengan hati yang lapang namun diliputi rasa cemas: apakah tahun ajaran ini sekolah masih bisa bernafas?
Sri Mariyani, Wali Kelas 6 yang telah bertahun-tahun mengabdi, tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Untuk tahun ini, baru lima siswa. Biasanya bisa 7, 8, sampai 10. Tapi sekarang hanya lima,” ucapnya dengan nada lirih, kepada awak media.
Tak tinggal diam, pihak sekolah melakukan promosi ke taman kanak-kanak terdekat. Namun, realita tak semudah harapan. Meski rajin menyambangi TK Bakti tiap tahun, Mariyani mengaku tak bisa memaksa para orang tua. Kecemasan pun kian memuncak menjelang penutupan pendaftaran pada Selasa, 24 Juni 2025.
“Terus saya juga door to door gitu, ke rumah-rumah,” ujarnya pelan, nyaris seperti bisikan dari hati yang tak ingin menyerah.
Kini, harapan terakhir mereka menggantung pada Dinas Pendidikan Karanganyar. Mariyani pun mengajukan usul agar sistem zonasi diperketat, agar siswa di sekitar wajib bersekolah di SDN 2 Wonorejo.
“Ya, harapannya sih Dinas lebih memperhatikan. Supaya kami bisa dapat murid lagi. Mungkin sistem domisili seperti SMP bisa diterapkan juga,” katanya penuh harap.
Gelombang Merger Sekolah: Sinyal Bahaya untuk Pendidikan Dasar
Tak hanya di Karanganyar, suara sunyi sekolah juga terdengar nyaring dari Kota Batu, Jawa Timur. Di kota wisata yang terus tumbuh ini, sembilan sekolah dasar akan digabung karena krisis murid baru yang terus memburuk dari tahun ke tahun.
Dinas Pendidikan Kota Batu tak punya pilihan lain. SDN Songgokerto 1 dan 2, SDN Oro-Oro Ombo 1 dan 2, hingga SDN Sisir 3, 4, dan 6—semuanya akan melebur menjadi satu. Sebuah langkah yang di satu sisi menyelamatkan, namun di sisi lain menyayat hati banyak guru dan warga.
Menurut Kepala Bidang Pembinaan SD, Daud Andoko, merger dilakukan bertahap dan penuh kehati-hatian. Bahkan kepala sekolah di sekolah-sekolah terdampak merger harus dipindah tugaskan terlebih dahulu, sebelum pengajuan ke Kementerian dapat diproses.
“Sinkronisasi data pokok pendidikan sangat penting. Bukan hanya data guru dan murid, tetapi juga aset dan keberlangsungan identitas sekolah,” ujar Daud.
Lalu, apa yang menyebabkan murid enggan masuk SD negeri?
Persaingan dengan SD swasta menjadi faktor utama. Sekolah negeri yang tidak bisa memungut biaya kalah bersaing dalam hal fasilitas dan promosi. Bahkan dana BOS yang mereka terima pun tak mampu mengejar kualitas yang ditawarkan oleh sekolah swasta yang lebih fleksibel.
“Apalagi jika sekolah itu berdiri dekat dengan SD lain, potensi muridnya makin tipis,” lanjut Daud.
Namun menariknya, fenomena ini justru tidak terjadi di sekolah-sekolah perbatasan. SD negeri yang berada di pinggiran Kota Batu malah kewalahan menampung murid baru.
“Sekolah-sekolah perbatasan justru menolak siswa karena kuota mereka penuh,” ungkapnya.
Meskipun merger bukan jalan mudah, Dinas memastikan proses ini tidak akan berlarut. Kajian mendalam tetap menjadi syarat utama. Setiap keputusan harus mempertimbangkan nasib guru, kepala sekolah, dan yang paling utama: masa depan anak-anak.
Pendidikan Dasar Kita, Dalam Titik Rawan
Kisah SDN 2 Wonorejo dan sembilan sekolah di Kota Batu adalah cerminan kondisi pendidikan dasar di Indonesia hari ini. Bukan hanya soal jumlah murid, tapi juga soal arah dan perhatian. Di balik data dan kebijakan, ada guru-guru yang mengetuk pintu rumah, ada sekolah yang berjuang hidup, dan ada anak-anak yang menunggu masa depan—di sekolah yang tak boleh padam.
-
Diolah dari artikel
Tribun Jatim
/ disempurnakan dengan bantuan AI


