WONOSOBO,
Berada di pusat keelokan alam Wonosobo, Jawa Tengah, terdapat seekor ular biawak yang menjulang tinggi di desa Krasak, Kecamatan Selomerto.
Pati yang tingginya nyaris 4 meter ini tidak hanya mengundang perhatian pejalan kaki dan pengendara, namun juga telah menjadi topik pembicaraan panas di platform-media sosial.
Dengan tingkat ke realismannya yang luar biasa, banyak orang salah paham dan berpikir bahwa patung tersebut sebenarnya adalah buaya hidup.
Akan tetapi, yang menjadikan monumen ini lebih menarik tidak hanya karena ukurannya dan keunikannya, melainkan juga karena biaya pembangunannya yang sangat terjangkau.
Tidak seperti kebanyakan monumen lainnya yang menelan biaya anggaran negara sampai miliaran rupiah, Tugu Biawak di Wonosobo dibuat dengan dana kurang dari Rp 50 juta saja.
Anggaran ini datang dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) beberapa Badan Usaha Milik Daerah setempat, menggambarkan bahwa karya seni berkelas tidak selamanya harus bernilai tinggi secara finansial.
Kreativitas Artis Asli lokal
Di belakang karya ini, tersembunyi keahlian seorang seniman lokal bernama Rejo Arianto.
Sebanyak 1,5 bulan, Arianto menggunakan keterampilannya untuk menciptakan patung biawak yang berada di Jalan Raya Nasional Ajibarang-Secang.
Arianto menyebutkan bahwa walaupun budgetnya terbatas, dia merasa cukup dengan alokasi dana sebesar Rp 50 juta untuk penyelesaian patung tersebut.
“Tenaga kerja yang dibutuhkan, untuk saya sebesar Rp 50 juta sudah cukup. Namun, jika ditangani oleh Kota Wonosobo, saya tidak mengitungnya; ini adalah kontribusi saya bagi tanah air. Tetapi bila dikerjakan di luar kota, kemungkinannya akan ada peningkatan pada biaya,” ungkapnya saat wawancara dengan , Rabu (23/4/2025).
Walaupun Arianto merasa puas dengan dana yang tersedia, dia ragu-ragu untuk membeberkan detail pengeluaran secara lebih jauh.
Menurut dia, menyebarkannya ke khalayak umum agak tidak etis.
“Saya menyebut anggaran tersebut sebagai kurang etis karena berbagai alasan. Namun, terkait dengan kota kita sendiri, saya belum melakukan perhitungan,” paparnya.
Konsep dan Tahap Penyusunan Monumen
Konsep Pembuatan Monumen Biawak dimulai dari Karang Taruna Desa Krasak yang bertujuan untuk menghasilkan sebuah karya yang mampu merepresentasikan karakteristik unik wilayah mereka.
Setelah memperoleh inspirasi itu, Rejo Arianto diminta secara langsung oleh Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, untuk merealisasikan patung tersebut.
Kenapa memilih biawak? Sebab hewan tersebut adalah salah satu jenis spesies endemik yang bisa ditemui di area Sekitar Wonosobo dan harus dilindungi sebagai ikon.
Untuk membuat patung tersebut, Rejo mendapat bantuan dari enam individu lainnya.
Menggunakan anggaran CSR dari badan usaha milik daerah setempat, pembuatan patung diawali sebelum bulan Ramadhan dan diselesaikan lima hari sebelum Idul Fitri.
“Ahlinya saya sendiri, tapi untuk membantu dari cakar ayam sampai selesai dibantu 6 orang. Pengerjaan sebelum puasa dan selesai H-5 lebaran,” kata Arianto.
Bagi Rejo Arianto yang merupakan seorang seniman, dia menganggap bahwa karya seni harus dinilai atas dasar nilai estetika dan konsepnya daripada sekadar mempertimbangkan biaya produksinya saja.
“Ada seni yang bersifat abstrak, ada juga yang ekspresif dan lain-lain. Melihat hal tersebutlah, tak mungkin diukur secara realistis begitu saja, karena karya abstrak perlu dievaluasi dengan pendekatan abstrak bukan menggunakan pandangan realismes,” ungkap pemilik akun Instagram Rejo Arianto ini.
Perbandingan dengan tugu lain
Ia menambahkan bahwa banyak tugu-tugu di Indonesia yang menelan biaya besar namun tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.
Misalnya saja Monumen Penyu di Pelabuhanratu, Sukabumi, yang konon telah menelan dana sebesar Rp 15,6 miliar tetapi sudah mulai rusak dalam hitungan bulan semenjak pembuatannya.
Terdapat pula Monumen Setengah Bulan di Kutai Timur dengan biaya mencapai Rp 2,5 miliar dan Tugu Pesut Mahakam di Samarinda yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) senilai Rp 1,1 miliar tetapi mendapatkan kritikan lantaran desainnya dinilai tak cocok.
“Itu privasi mereka, saya sebagai seniman menilai karya mereka bagus,” kata Rejo menanggapi fenomena tugu-tugu mahal yang tak sesuai harapan masyarakat.
Patung Biawak ini telah mendapatkan sambutan luar biasa dari publik dan pengguna media sosial. Berbagai pujian pun bermunculan terkait kehalusan serta keserasian patung itu dengan lingkungan sekitarnya, hingga ada yang menganggapnya menjadi “ikon baru Wonosobo”.
“Menarik nih, umumnya yang viral adalah pembuatan patung mahal, tapi kali ini viral karena harganya terjangkau, dan hasilnya luar biasa realismenya,” ujar Lia, seorang pemakai jalan.