Sunan Bonang: Sang Wali Songo yang Tetap Jomblo Hingga Akhir Hayat dan Gelar Uniknya Sunan Wadat Anyakra

Posted on


Reputasinya terkenal karena menjadi orang yang “mencerahkan” Brandal Lokajaya — nantinya akan dikenal dengan nama Kalijogo. Dia tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Dialah Sunan Bonang atau juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.




bergabung dengan WhatsApp Channel, ikuti dan temukan informasi terkini kami disini




Online.com – ”

Orang-orang yang mencari jejak Sunan Bonang paling sedikit akan menemukan tiga tempat pemakaman… Kekacauan ini terjadi salah satunya karena dari awal belum jelas manakah yang merupakan makam dan mana yang adalah petilasan,” demikian tertulis oleh Seno Gumira Ajidarma dalam artikel berjudul “Sunan Bonang Wali Yang Membujang, Dengan Empat Makam”.

Majalah

edisi Februari 2006.


Makam, jelas merupakan lokasi di mana manusia dikuburkan. Sedangkan petilasan umumnya berarti tempat para wali dulu sempat bermalam, belajar, mengajarkan ilmu, atau hanya melewati daerah tersebut. Walaupun demikian, dalam kekayaan warisan Para Wali Sanga, petilasan tidak kurang penting dibandingkan makam.


Meskipun demikian, petilasan menjadi tempat di mana para wali ini bersatu dengan alam sekitarnya. Salah satunya adalah melalui kegiatan dakwah.

Apabila disatukan, makam dan tempat peninggalan, totalnya ada empat lokasi yang berkaitan dengan Sunan Bonang.

Yang pertama kali yaitu Pemakaman Sunan Bonang yang letaknya ada di sisi belakang Masjid Agung Tuban, Jawa Timur. Terdapat sebuah kompleks pemakaman di bagian belakang dari bangunan masjid besar tersebut. Tempat itulah dimana makam Sunan Bonang ditemukan.


Kedudukan pemakaman kedua berlokasi di Tambak Kramat, Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terdapat dua situs pemakaman di sana – meskipun agak sukar menentukan mana yang pasti menjadi tempat peristirahatan akhir Sunan Bonang. Salah satu dari lokasi tersebut tampak lebih dirawat dengan adanya bangunan penutup serta tirai, sedangkan situs lain dispekulasikan sebagai milik seorang nakhoda asal Sulawesi yang mengalami musibah keruntuhan kapal di wilayah Bawean.

Mana yang benar, Tuban atau Bawean? Ternyata ada kisahnya.

Menurut Seno lagi, katanya sih begitu: Sesudah Sunan Bonang meninggal dunia di Bawean, para siswonya di Tuban berharap beliau dikuburkan di sana. Namun, para siswa di Bawean enggan karena pertimbangan panjang dan melelahkannya perjalanan laut tersebut.

Selanjutnya, para pengurus jenasah di Bawean terinspirasi oleh siswa-siswa Sunan yang berasal dari Tuban. Kemudian mereka mengantarkan jasad Sunan Bonang dengan kapal ke arah Tuban pada malam hari tersebut dan setelah tiba, dikuburkan di sekitar kompleks makam masjid Sunan Bonang.


Meskipun demikian, para santri di Bawean mengatakan hanya sebuah kain kafan saja yang berhasil dibawa ke Tuban. Demikian pula dengan orang-orang di Tuban, mereka menyebut bahwa yang tetap dikubur di Bawean hanyalah sehelai kain kafan.

Yaitu yang ketiga terletak di Singkal, di pinggiran Sungai Brantas, Kediri, Jawa Timur. Berdasarkan Babad Kadhiri, Sunan Bonang sempat menyebarkan agama di sana namun tidak berhasil. Pada tahun 1678, saat tentara Belanda-Jawa menghadapi pasukan Trunajaya di wilayah tersebut, mereka menemukan sebuah masjid yang difungsikan menjadi gudang petasan, sebagaimana diberitakan oleh Antonio Hurdt.

Graaf dan Pigeaud berpendapat bahwa adanya masjid yang cukup signifikan di Singkal pada masa abad ke-17 membuat cerita rakyat yang mendeskripsikannya sebagai sumber propagasi agama Islam di awal abad ke-16 menjadi semakin bisa diterima.

Yang keempat adalah petilasan, berada di sebuah bukit di pesisir utara Jawa, tepatnya terletak di antara kota Rembang dan Lasem. Tempat tersebut populer dengan sebutan mBonang — nama yang akhirnya juga digunakan untuk merujuk kepada Sang Sunan.

Menurut cerita, di ketinggian bukit tersebut berada makam Sunan Sunan. Tidak menggunakan cungkup atau tanda nisan, tempat ini cukup diberi penanda dengan bunga melati saja. Puncak bukit memiliki bekas jejak kaki Sunan Bonang; kekuatan magisnya dipercaya mampu menggerakkannya turun kedalam permukaan bumi. Berdekatan pula terletak makam Putri Cempo.


Biografi Sunan Bonang

Menurut legenda yang populer, Sunan Bonang diketahui sebagai anak Sunan Ampel Denta dengan istri pertamanya yaitu Nyai Ageng Manila menurut beberapa narasi. Namun sumber lain mengatakan bahwa dia merupakan buah hati dari Dewi Candrowati, sang puteri kerajaan Majapahit.

Setelah tumbuh dewasa, Sunan Bonang menjabat sebagai imam pertama di Masjid Demak. Diperkirakan ia lahir sekitar tahun 1440 hingga 1465 dan wafat pada tahun 1525. Pendidik utamanya adalah sang bapak sendiri, bekerja sama dengan saudara sepupunya, Raden Paku, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.

Namanya yang sebenarnya adalah Maulana Makhdum Ibrahim. Sebab ia tidak pernah bersuami atau paling tidak tidak diketahui memiliki anak laki-laki, maka ia pun dikenal juga dengan nama Sunan Wadat Anyakra Wati.


Menurut Abdul Hadi WM pada karya “Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk” (1993), “Tahun 1503, selepas bertugas selama beberapa tahun sebagai imam masjid, ia terlibat dalam perbedaan pandangan dengan Sultan Demak serta mengundurkan diri dari posisi tersebut untuk kemudian berpindah ke Lasem. Di sana, ia memilih Desa Bonang sebagai kediamannya. Di Bonang itu, ia mendirikan sebuah pesantren.”



pasujudan



(tempat tafakur), kemudian ia kembali ke desanya, Tuban.”


Sebagaimana telah disampaikan di awal, Sunan Bonang diketahui sebagai orang yang memberi Raden Sahid, juga dikenal dengan nama Brandal Lokajaya, sebuah penyataan cemerlang, hingga akhirnya ia berkembang menjadi seorang pembawa pesan sinkretis handal bernama Sunan Kalijaga.


Dalam perjalanannya dakwah,

Sunan Bonang sempat menyebarkan dak wahnya ke berbagai wilayah di Jawa, termasuk Kediri, Demak, Lasem, Tuban, Madura, serta Pulau Bawean. Ia meninggal dunia pada tahun 1525 di Pulau Bawean, namun dikuburkan di Tuban, yang terletak di Jawa Timur.

Sunan Bonang mengawali penyebaran agamanya di Kediri, Jawa Timur, sekaligus merintis pembuatan musholla di Desa Singkal, dekat Sungai Brantas. Akan tetapi, upaya Sunan Bonang dalam memberi pengajaran agama di Kediri pada awalnya menemui hambatan akibat metode yang digunakan terbilang tegas.

Berdasarkan kisah tersebut, Sunan Bonang telah menghancurkan patung suci yang digunakan oleh warga lokal untuk beribadah, pada masa ketika mereka masih memeliki agama Hindu. Walaupun menghadapi perlawanan dari komunitas setempal, Sunan Bonang tetap teguh dan akhirnya berhasil membimbing Adipati Kediri, Arya Wiranatapada, bersama dengan anak perempuannya ke dalam keyakinan Islam.

Sunan Bonang berpindah dari Kediri untuk meneruskan penyampaian agamanya di Demak, Jawa Tengah. Perjalanan Sunan Bonang ini dipicu oleh undangan yang diterimanya dari Raden Patah, sang pembuat kerajaan Demak.

Di situ, Sunan Bonang menjabat sebagai salah satu konsultan kerajaan dan memimpin Masjid Demak. Ia pun aktif dalam mencari metode dakwah yang lebih inklusif untuk mendapatkan penerimaan dari kalangan masyarakat sekitar.

Dia juga menghabiskan waktu untuk belajar metode dakwah dari ayahnya, Sunan Ampel. Menuju ke Lasem Berdasarkan naskah Carita Lasem, disebutkan bahwa Sunan Bonang mendukung penyebaran Islam di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, melalui pendekatan yang mensinergikan budaya setempat (dakwah kolaboratif).

Sunan Bonang mengizinkan warga Lasem untuk membawa gamelan ke dalam masjid. Pada masa tersebut, gamelan seringkali dipakai sebagai instrumen musik bagi pengikut agama Hindu dan Buddha.

Sunan Bonang setelah itu mengambil alih instrumen musik tersebut guna meramu lagu-lagu gending Jawa yang dipenuhi nasihat-nasihat Islam sebagai metode dakwahnya. Penduduk diminta izin untuk masuk ke dalam mesjid demi mempertunjukkan permainan musik ini selama mereka menunaikan ritual pencuci kaki di kolam buatan Sunan Bonang serta menyatakan kalimat shahada terlebih dahulu.

Setelahnya, Sunan Bonang menyebarkan agama Islam dengan menggabungkan ajarannya ke dalam tembang.

Sunan Bonang turut mempromosikan agama Islam ke wilayah Tuban. Dalam upaya dakwahnya di daerah pantai tersebut, Sunan Bonang memanfaatkan seni lokal sebagai media penyampaian pesannya. Pada masa itu, penduduk Tuban sudah familiar dengan instrumen musik bernama bonang, yaitu salah satu perangkat gamelan asli dari Jawa Timur.

Penggunaan Bonang dalam dakwah lah yang menjadikan Raden Maulana Makdum Ibrahim dikenal dengan nama Sunan Bonang.

Pada awalnya, orang-orangan di Tuban kurang minat terhadap agama Islam dan justru lebih suka pada instrumen musik bernama Bonang. Akhirnya, Sunan Bonang menyesuaikan diri dengan keingintahuan mereka tersebut melalui metode membawakan lagu menggunakan Bonang sekaligus menyebarkan pesannya.

Alat musik bonang tersebut dipergunakan sebagai pendamping lirik-lirik lagu yang menyampaikan pesan-pesan agama Islam cocok dengan situasi sosial masyarakat pada masa itu, sehingga membuat orang-orang menjadi terpukau dan mulai belajar tentang Islam. Tidak hanya di Kediri, tetapi juga di Demak, Lasem, serta Tuban, Sunan Bonang pernah memberikan pengajaran agama ke sejumlah wilayah di pesisir utara Jawa, pulau Madura dan Pulau Bawean sampai ia meninggal dunia disana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *