Update THR untuk Pengemudi Ojek Online, Begini Kata Menaker

Posted on

(ojol) dalam tahap finalisasi.

“Saya ingin memastikan bahwa partisipasi yang bermakna (antara pemerintah, pengemudi/mitra dan aplikator) terjadi terkait dengan THR ojol ini,” kata Menaker Yassierli dalam konferensi pers, di Jakarta, Rabu (5/3/2024).

Lebih lanjut, Menaker mengatakan bahwa saat ini pihaknya lebih menekankan diskusi atau dialog dengan pihak-pihak terkait.

“Kami menekankan pentingnya berkomunikasi. Saya telah beberapa kali bertemu dan ingin memastikan bahwa hasil akhirnya adalah hasil dari proses diskusi yang dilakukan oleh aplikator dan pengemudi online-nya. Saya optimis (kepastian itu) tidak lama lagi akan selesai,” ujar Yassierli.

Menaker mengatakan, hal yang membuat kepastian ini cukup lama selesai adalah semua pihak tengah mencari rancangan yang bisa memenuhi segala hal yang kompleks dan fundamental dalam pemenuhan hak pekerja yang berbasis daring ini.

“Mencari formula yang kemudian bisa menutup kompleksitas itu, dari layanan, jam kerja, itu yang kemudian butuh waktu kita untuk mengformulasikannya,” ujarnya.

Saat ditanya apakah sudah terjadi diskusi lanjutan dengan perusahaan penyedia jasa ride hailing melalui aplikasi atau aplikator terkait, Menaker mengatakan sampai saat ini diskusi tersebut telah menuju arah positif.

“Ini masih proses. Beberapa pengusaha sudah memberikan tanggapannya. Kami beberapa kali berdiskusi, berusaha memahami satu sama lain untuk menentukan formulanya karena memerlukan waktu untuk melihat kompleksitasnya,” ujar Yassierli.

Jika keputusan THR sudah final, Kemnaker meminta aplikator untuk memberikan gantinya dalam bentuk uang tunai.

Tapi, mengenai batas waktu, Menaker masih belum memberikan jawaban pasti. “Saya bayangkan finalisasi ini memerlukan pertemuan final, sentuhan final untuk mencapai solusi win-win,” katanya juga.

Regulasi THR

Profesor Hukum Perburuhan Universitas Trisakti Prof. Aloysius Uwiyono mengingatkan bahwa hingga saat ini di Indonesia belum ada regulasi tentang tunjangan hari raya (THR) bagi pekerja lepas (informal).

“Pembatasan ini juga berlaku bagi mitra pengemudi perusahaan transportasi daring berbasis aplikasi,” kata Profesor Aloysius dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

Pernyataan ini untuk menjawab, kekecewaan ribuan pengemudi ojek dan taksi online serta kurir pada 17 Februari 2025 yang melakukan unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) di Jakarta dengan tuntutan Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan aplikasi transportasi online.

Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menyatakan bahwa selama lebih dari 10 tahun, para pengemudi belum pernah menerima THR, padahal mereka bekerja setiap hari dan menghasilkan pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.

Menurut Prof. Aloysius, secara yuridis, hubungan antara pengemudi dan perusahaan aplikasi merupakan kemitraan, bukan hubungan kerja.

Hal itu ditegaskan oleh pasal 15 ayat (1), Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk Kepentingan Masyarakat, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi adalah hubungan kemitraan.

Dengan demikian secara politis, wewenang Kementerian Tenaga Kerja hanya terbatas pada hubungan pekerja dengan perusahaan swasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang disebut hubungan kerja.

Hubungan kerja sama ini berarti mitra pengemudi memiliki kebebasan dalam menentukan jam kerja, menerima atau menolak pesanan, serta bekerja untuk lebih dari satu platform.

“Hal ini berbeda dengan hubungan kerja yang mensyaratkan adanya pekerja tetap, gaji, dan perintah dari majikan, yang mempekerjakan pekerja dengan membayar gaji atau imbalan dalam bentuk lain,” kata dia.

Regulasi yang menjadi dasar dalam menentukan apakah suatu hubungan antara perusahaan dan individu termasuk dalam kategori hubungan kerja formal atau bukan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (perubahan dari UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020).

Secara spesifik, definisi hubungan kerja dan unsur-unsurnya dijelaskan dalam pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan, yang menyebutkan: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang memiliki unsur pekerjaan, perintah, dan upah.”

Tiga unsur

Kemudian, menilik dari dasar hukum ketenagakerjaan Indonesia di atas, sebuah hubungan kerja harus memenuhi tiga hal pokok, yaitu:

Pertama-tama, pekerjaan, mitra pengemudi melakukan pekerjaan seperti mengantar penumpang atau barang, tetapi ini dilakukan dengan pilihan mereka sendiri tanpa ada tekanan.

Kedua, perintah, tidak ada perintah kerja dari perusahaan aplikasi, melainkan perintah kerja yang diberikan langsung oleh konsumen melalui pemesanan melalui aplikasi. Mitra pengemudi memiliki kebebasan penuh untuk menentukan kapan dan bagaimana mereka bekerja.

Ketiga, gaji, tidak ada gaji tetap dari perusahaan aplikasi, melainkan mitra pengemudi membayar sejumlah uang kepada perusahaan aplikasi sebagai biaya sewa aplikasi dan mendapat bagi hasil dari tarif yang dibayar oleh konsumen berdasarkan perjanjian bagi hasil.

Sistem ini lebih menyerupai mekanisme bisnis yang mengikuti hukum perdata pada umumnya daripada hubungan kerja antara majikan dan karyawan, yang mengikuti hukum ketenagakerjaan (perburuhan) yang khas dengan ciri-ciri upah, pekerjaan, dan perintah.

Karena unsur-unsur kepekerjaaan ini tidak terpenuhi, maka mitra pengemudi secara yuridis bukanlah pekerja yang berhak atas tunjangan dan perlindungan seperti THR yang dimiliki pekerja tetap sebagaimana diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan.

Pekerja formal

THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, yang menetapkan bahwa THR diberikan kepada pekerja yang memiliki hubungan kerja resmi dengan perusahaan.

Jika kebijakan ini diberlakukan pada hubungan antara pengemudi mitra dan perusahaan aplikasi, maka dapat menimbulkan masalah hukum, karena pengemudi mitra tidaklah bersifat sebagai pekerja tetap, sehingga penetapan THR bagi pengemudi mitra ini bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Di Indonesia, regulasi yang ada secara tegas menetapkan hubungan kemitraan, sehingga status mitra pengemudi tidak dapat disamakan dengan pekerja tetap seperti dalam beberapa putusan pengadilan di luar negeri.

Oleh karena itu, dinamika pasar sebaiknya diizinkan berkembang secara alami agar menciptakan ekosistem kemitraan yang kompetitif dan berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *