Pengalaman Menjelajahi Museum Maritim
Setelah menjelajahi sayap barat, kelompok Tajir Melintir bergantian dengan kelompok Crazy Rich untuk menuju ke sayap timur Museum Maritim. Mbak Keiza tetap menjadi pemandu yang setia.
Saat memasuki ruangan tersebut, suasana terasa berbeda. Pencahayaan yang redup menciptakan ketenangan, berbeda dengan terik matahari di luar. Di depan pintu, sebuah patung dada menyambut. Wajahnya terasa familiar namun samar dalam ingatan.
“Ayo, siapa yang tahu tokoh ini?” tanya Mbak Keiza sambil menutup plat nama kuningan di bawah patung. “Beliau Bapak Maritim Indonesia,” tambahnya memberi petunjuk.
“Djuanda,” jawab salah satu peserta dengan nada setengah yakin. Saya mengangguk pelan karena ketika mendengar nama Juanda, yang langsung terbayang justru bandara di Surabaya — bukan laut. Baru setelah mendengar penjelasan tentang Deklarasi Djuanda dan Wawasan Nusantara, saya menyadari betapa besar jasa tokoh ini.
Saya menatap patung itu lebih lama. Wajahnya tenang, tapi di balik keteduhan itu seolah bergema kalimat yang pernah ia ucapkan pada tahun 1957: “Laut bukan pemisah, melainkan pemersatu bangsa.” Berkat pandangan visioner Djuanda, laut di antara pulau-pulau Nusantara diakui dunia sebagai milik Indonesia — bukan ruang kosong di antara daratan.
Kami melangkah lebih dalam. Display pertama yang terlihat adalah peta Pelabuhan Belawan di Sumatera Utara. Rasanya seperti dibawa ke tepi Selat Malaka, tempat kapal-kapal asing dulu menepi membawa lada, timah, dan rempah. Pelabuhan ini menjadi saksi bagaimana perdagangan dan kolonialisme saling bertaut dalam sejarah.
Beberapa langkah kemudian, foto-foto hitam putih menampilkan suasana Tanjung Priok tempo dulu — pelabuhan utama Batavia, tempat kapal Belanda bersandar dan rakyat pribumi hanya bisa memandangi dari pinggir dermaga.
Tak jauh dari situ, panel besar menjelaskan sejarah pelabuhan sejak masa Sunda Kelapa. Di sinilah aroma sejarah benar-benar terasa. Sebuah replika Prasasti Tugu berdiri di sisi kiri, menandakan betapa pentingnya sungai dan air sejak zaman Tarumanagara. Pada dinding belakang, ilustrasi pendirian Batavia tergambar hidup: Gubernur Jenderal VOC, Kapitan Cina, dan si Pitung — sang jawara Betawi yang mewakili suara rakyat kecil di tengah dominasi kolonial.
Ruang itu terasa seperti panggung sejarah mini, di mana kekuasaan, perdagangan, dan perlawanan saling berkelindan di bawah langit pelabuhan. Laut, dalam konteks itu, bukan sekadar air asin yang luas, melainkan ruang pertemuan manusia dan ideologi. Museum ini mengingatkan kita bahwa negeri ini tumbuh dari tepi laut — dan karena itu, laut seharusnya dijaga sebagai akar kebangsaan.
Di sisi lain, ada gambar Pulau Onrust, pulau kecil di Teluk Jakarta yang dulu menjadi pos karantina jemaah haji dan benteng pertahanan VOC.
Perjalanan berlanjut ke peta besar pelabuhan-pelabuhan utama masa kini: Tanjung Perak di Surabaya, Teluk Bayur di Padang, Tanjung Mas di Semarang, Pelabuhan Cirebon, hingga Tanjung Priok sendiri.
“Pelabuhan ini dulu namanya Emmahaven,” jelas Mbak Keiza sambil menunjuk Teluk Bayur. “Dinamai dari Ratu Emma, ibunda Ratu Wilhelmina.” Saya tersenyum kecil, karena nama Teluk Bayur mengingatkan saya pada lagu lawas Ernie Djohan yang penuh rindu perpisahan di dermaga.
Lalu, di dinding terpampang peta berjudul “Pelabuhan Bagian dari Kota.” Peta besar itu menegaskan bahwa pelabuhan bukan hanya tempat keluar-masuk barang, melainkan bagian dari denyut kehidupan kota. Di sana tergambar Jakarta lengkap dengan Pelabuhan Tanjung Priok, Monas, Jembatan Semanggi, Tugu Pancoran, Gedung DPR/MPR, hingga Taman Mini.
Tak jauh dari sana, sebuah panel bertajuk “Pelabuhan sebagai Penghubung Nusantara” memamerkan peta kepulauan Indonesia dengan garis merah yang menghubungkan Sabang hingga Merauke, Belawan hingga Jayapura. Garis-garis itu tampak seperti nadi kehidupan, menandakan bagaimana laut menjadi penghubung antarwilayah dan peradaban.
Teks di bawah peta menegaskan: pelabuhan bukan hanya tempat bongkar muat, tapi simpul peradaban tempat bertemunya budaya, informasi, dan ekonomi.
Di depannya, dua miniatur kapal penumpang besar berdiri megah di balik kaca transparan — lengkap dengan detail dek, sekoci, dan cerobong. Pencahayaannya lembut, membuat kapal-kapal itu tampak baru saja kembali dari perjalanan panjang, membawa manusia, barang, dan mimpi.
Pantulan antara miniatur kapal dan peta di belakangnya menciptakan kesan magis — seolah waktu berhenti, mempertemukan masa lalu pelayaran tradisional dan modernitas pelabuhan hari ini.
Menariknya, di ruang berikutnya, pelabuhan diperkenalkan dalam konteks pertahanan. Ada model armada angkatan laut, peta navigasi, dan simulasi strategi penjagaan wilayah maritim. Laut tak hanya tentang perdagangan, tapi juga kedaulatan.
Kami kemudian tiba di ruang alat keselamatan pelayaran: sekoci, pelampung oranye, baju pelindung badai, hingga alat komunikasi darurat. Di ruang ini, laut tidak lagi tampak romantik, melainkan heroik. Ia mengajarkan bahwa keindahan selalu berdampingan dengan risiko — dan hanya ketekunan serta keberanian yang membuat manusia mampu menaklukkannya.
Tak jauh dari situ, deretan miniatur kapal penumpang legendaris terpajang rapi, disinari lampu lembut. Rasanya seperti pesan yang ingin disampaikan museum ini: kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada daratan yang luas, tetapi pada seberapa dalam bangsa itu memahami lautnya.
Akhirnya, kami sampai di ruang yang paling interaktif: simulator kemudi kapal. Sebuah ruangan gelap dengan replika setir besar dan layar monitor menampilkan pemandangan laut, ombak, serta mercusuar di kejauhan. Siapa pun yang duduk di kursi itu akan merasa menjadi nakhoda sungguhan, menatap cakrawala dan menahan napas saat badai digital mengguncang layar.
Namun, di balik simulasi itu tersimpan pesan mendalam — bahwa menjadi nakhoda, baik kapal maupun bangsa, berarti berani mengambil arah di tengah ketidakpastian. Laut, dengan segala arusnya, hanya tunduk kepada mereka yang mau belajar mendengar.
Di luar gedung, suara kapal sungguhan samar-samar terdengar. Bau solar bercampur garam laut membawa kenangan akan pelabuhan-pelabuhan lama — dari Sunda Kelapa tempat perahu phinisi Bugis bersandar, hingga Tanjung Perak yang kini bersinar dengan lampu-lampu modern; dari Cirebon yang menjadi persinggahan para wali, hingga Belawan yang menjadi gerbang perdagangan Sumatera. Semua nama itu ibarat simpul-simpul pada jaring besar bernama Nusantara.
Museum Maritim, dengan cara yang sederhana tapi jujur, mengingatkan: identitas Indonesia bukan semata agraris, melainkan juga maritim. Djuanda pernah berkata, laut menghubungkan, bukan memisahkan — dan kini, kalimat itu terasa semakin relevan.
Di tengah masyarakat yang lebih akrab dengan jalan tol ketimbang dermaga, laut sering kali dilupakan sebagai rumah kedua bangsa ini. Padahal dari lautlah peradaban kita bermula.
Melihat diorama Pulau Onrust, saya teringat pada para pelaut Nusantara yang jarang disebut dalam buku pelajaran. Mereka bukan tokoh besar, tapi merekalah yang membawa garam dari Madura, ikan dari Makassar, dan hasil bumi dari Kalimantan. Mereka tanpa pangkat, namun tanpanya, roda kehidupan pelabuhan tak akan berputar.
Museum ini bukan sekadar ruang edukasi, melainkan tempat renungan. Bahwa bangsa ini besar bukan karena kapal perang atau proyek raksasa, melainkan karena tangan-tangan kecil yang bekerja di bawah panas dan angin laut.
Dan di depan patung Djuanda, kalimat lama itu kembali bergaung: laut adalah darah yang mengalir di nadi bangsa.


