Prinsip Komunikasi yang Tidak Bisa Ditarik Kembali
Prinsip komunikasi bahwa pesan tidak bisa dihapus atau dibatalkan kembali, masih relevan hingga saat ini. Hal ini dipertegas oleh Joseph De Vito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (1988). Meskipun berbagai perubahan terjadi seiring waktu, prinsip ini tetap menjadi hukum dasar dalam dunia komunikasi. Pengalaman pribadi penulis sebagai Asisten Manajer Media Center PON dan Peparnas di Jawa Barat sembilan tahun lalu menjadi contoh nyata bagaimana prinsip ini dapat mengubah citra sebuah acara.
Pada masa itu, hanya enam pertandingan dari total 754 yang memicu kericuhan, baik di lapangan maupun di media sosial. Meski belum ada istilah “viral” atau “trending”, dampaknya sangat besar. Bahkan, Menteri Pemuda dan Olahraga saat itu, Imam Nahrawi, turut berkicau di akun Twitter-nya dengan pesan yang mengejutkan. Meskipun kemudian kicauannya direvisi, kerusakan citra telah terjadi. Angka kecil 0,007 persen kericuhan justru membuat masyarakat Indonesia menganggap PON Jabar sebagai ajang yang kacau dan penuh kecurangan.
Upaya Menyelamatkan Citra
Sebagai aktor komunikasi di Media Center, penulis terus berusaha memperbaiki imaji dengan meningkatkan produksi berita hardnews dan softnews. Namun, citra yang sudah rusak sulit untuk diperbaiki. Faktor seperti kicauan pejabat publik dan persepsi masyarakat yang kuat menjadikan upaya penyelamatan citra menjadi tantangan besar.
Kisah serupa juga terjadi dalam program MBG (Makan Bergizi Gratis). Di mata banyak orang, pesan komunikasi yang terbentuk di benak publik, termasuk netizen, terus memburuk. Penarikan kartu khusus jurnalis di Istana Negara milik CNN Indonesia memberi bumbu tambahan pada citra buruk tersebut. Meskipun ID Card kembali diberikan, stigma negatif yang terbentuk sulit dihilangkan.
Data yang Mengungkap Fakta Sebenarnya
Fakta yang menyebutkan bahwa dari 31 juta penerima manfaat MBG periode Januari-September 2025, hanya 0,0017 persen (71 insiden melibatkan 6.000 siswa keracunan) menunjukkan bahwa sebagian besar makan gratis bergizi aman. Lebih dari 31 juta siswa, guru, staf TU, dan satpam sekolah mendapatkan manfaat positif dari program ini.
Selain itu, data dari UNICEF menunjukkan bahwa dua dari lima anak di bawah usia lima tahun tidak menerima jumlah kelompok makanan yang direkomendasikan. Lebih dari 95 persen anak dan remaja tidak mengonsumsi buah dan sayur sesuai anjuran. Dengan data ini, MBG menjadi salah satu solusi penting dalam mengurangi prevalensi stunting nasional yang mencapai 19,8 persen.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Riset dari firma ekonomi terkemuka, Indef, menyebutkan bahwa alokasi MBG sebesar Rp 71 triliun tahun 2025 dapat mendorong pertumbuhan PDB sebesar 0,06 persen atau setara Rp 14,61 triliun. Selain itu, program ini juga mampu menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di 5.800 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 38 provinsi. Pemberdayaan estimasi 1 juta petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM juga menjadi dampak positif dari program ini.
Langkah Perbaikan ke Depan
Untuk mengembalikan citra MBG, langkah pertama adalah menghentikan sementara program untuk evaluasi titik lemah dan kekuatannya. Jangan malu atau gengsi untuk merunduk sejenak guna melompat seribu langkah. Evaluasi organisasi BGN harus dilakukan, terutama jika pimpinan dominan berasal dari latar belakang militer dan polisi yang tidak memiliki pengalaman panjang dalam pengadaan katering massal.
Selain itu, pendekatan komunikasi publik perlu diperbaiki. Presiden harus menjadi komunikator utama dalam situasi krisis, bukan hanya melalui juru bicara atau kepala BGN. Data penting seperti angka keracunan 0,0017 persen harus disampaikan langsung oleh orang paling penting.
Diskusi intens dengan kelompok masyarakat juga perlu ditingkatkan. Presiden harus turun tangan langsung untuk mensukseskan MBG yang masih harus mencapai target 82 juta penerima manfaat di akhir tahun ini. Harus mau berkeringat dan belepotan tangannya, Pak Presiden!


