No Other Choice, Karya Terbaru Park Chan Wook yang Mengguncang Dunia Film
Setelah lama tidak muncul di layar lebar, sutradara legendaris Korea Selatan, Park Chan Wook, kembali dengan film terbarunya yang diberi judul No Other Choice (2025). Berbeda dari film-film sebelumnya seperti Oldboy (2003) atau The Handmaiden (2016), yang lebih mengedepankan intrik dan thriller, kali ini Park membawakan karya yang berbeda: sebuah komedi gelap yang menusuk jantung kapitalisme. Dibintangi oleh Lee Byung Hun dan Son Ye Jin, film ini menawarkan pengalaman yang unik dan penuh makna.
Satir Berdarah tentang Kapitalisme
Dari awal film, Park Chan Wook langsung memberi sinyal bahwa No Other Choice bukanlah film komedi biasa. Ceritanya mengikuti Man Su (Lee Byung Hun), seorang manajer perusahaan kertas yang dipecat setelah bekerja selama 25 tahun. Di usia matang, kehilangan pekerjaan bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga martabat. Ketika rumah masa kecilnya terancam disita, Man Su merasa “tidak punya pilihan lain” dan memilih jalan pintas yang absurd: menghilangkan pesaing agar bisa diterima di perusahaan baru.
Premis ini terdengar gila, tapi justru di situlah kekuatannya. Park menggunakan humor slapstick, adegan ganjil, dan humor getir untuk menunjukkan betapa kapitalisme bisa mendorong manusia melakukan hal-hal tak masuk akal hanya demi bertahan di kelas sosial yang sama. Ironinya, Man Su tidak ingin melompat kelas atau menjadi kaya raya. Ia hanya ingin tetap aman sebagai kelas menengah bersama keluarganya. Perjuangannya ini sangat relevan dengan banyak orang di dunia nyata.
Bagi penulis, No Other Choice adalah performa terbaik Park sebagai satiris. Ia sukses menyajikan sindiran terhadap kapitalisme tingkat akhir, toxic masculinity, dan trauma keluarga tanpa pernah kehilangan nada komedinya. Penonton akan tertawa keras di awal, sedikit mengernyit di tengah, dan akhirnya merasa getir di akhir. Setelah credit bergulir, muncul rasa takut: bagaimana jika suatu hari kita berada di posisi Man Su?
Visual dan Skoring yang Menjadi Alat Bercerita
Park Chan Wook selalu memperhatikan detail visual dalam setiap filmnya. Dalam No Other Choice, kamera bergerak luwes dan penuh kejutan, kadang membingkai adegan dengan perspektif anak kecil atau bahkan benda mati. Adegan-adegan keluarga Man Su yang awalnya hangat perlahan berubah menjadi potret rapuh, penuh ketidakpastian. Rumahnya, yang tadinya terasa aman, pelan-pelan menjadi seperti penjara emosional.
Salah satu hal menarik adalah scoring dalam film ini sering kali datang langsung dari dalam adegan. Anak perempuan Man Su yang bermain cello, misalnya, menghadirkan suara gesek yang bukan hanya menjadi latar adegan, tapi juga bagian dari narasi. Teknik ini membuat musik terasa organik, yang menyatu dengan dunia film alih-alih sekadar lagu tempelan. Ada juga transisi yang begitu mulus hingga terasa seperti kalimat dalam sebuah puisi.
Park tahu benar cara mengolah bentuk dan isi. Gambar-gambar indah dan kontras, zoom in-zoom out, musik yang menyelinap ke telinga kita, semuanya bukan hiasan. Mereka adalah medium untuk mengantarkan kisah satire tentang manusia yang makin terdesak oleh sistem, hingga tidak tahu lagi mana batas logika, mana absurditas.
Film Terlucu Park Chan Wook sepanjang Karier
Aman untuk mengatakan bahwa No Other Choice adalah film Park yang paling “kocak” sekaligus paling getir. Adegan-adegan komedinya efektif, mulai dari panggilan video konyol sang istri, momen Man Su yang salah langkah saat mengintai pesaing, sampai humor visual ala kartun Looney Tunes. Penonton dibuat tertawa lepas. Namun, Park dengan lihai memutar tombol tonal: tawa itu perlahan berubah jadi canggung, lalu diam, dan berakhir ngeri.
Inilah yang membedakan Park dari kebanyakan sutradara dark comedy. Dia tahu kapan harus memberi ruang untuk humor, dan kapan harus menekannya hingga yang tersisa hanya rasa getir. Pada akhirnya, No Other Choice bukan sekadar kisah pembunuhan amatir atau PHK, tapi soal absurditas manusia modern yang menggantungkan seluruh identitasnya pada pekerjaan.
Lee Byung Hun juga tampil luar biasa. Ia memainkan Man Su bukan sebagai monster, melainkan pria biasa yang semakin terperosok ke jurang keputusasaan. Kita bisa berempati padanya, sekaligus ngeri dengan pilihannya. Kombinasi tragedi dan komedi inilah yang membuat film terasa hidup dan penuh lapisan emosi, sesuatu yang jarang ditemui dalam film-film satire lainnya.
Apakah No Other Choice Layak Ditonton?
No Other Choice sangat layak ditonton! Film ini merupakan persembahan yang harus ditonton oleh penggemar setia Park Chan Wook, sekaligus menjadi karya yang relevan bagi siapa pun yang hidup di dunia kerja hari ini. Tema besar tentang kapitalisme, obsesi status, dan krisis identitas terasa universal. Kisah Man Su mudah dipahami penonton dari manapun tanpa harus paham konteks tentang Korea Selatan.
Ya, No Other Choice memang tidak memberikan plot twist segahar Oldboy atau The Handmaiden, tapi ia membuktikan satu hal: Park masih bisa mengejutkan kita dengan sesuatu yang sama sekali baru. Film ini adalah sebuah komedi gelap yang lucu sekaligus menyesakkan dada, memaksa kita tertawa sekaligus merenung tentang harga diri seorang pria, keluarga, dan pekerjaan yang kita sukai.
Film ini benar-benar menelanjangi kapitalisme, bagaimana kita (manusia) yang harusnya bekerja sama malah harus “menghabisi” satu sama lain dengan satu mantra yang terus diulang-ulang: tidak ada pilihan lain. Tak cuma merusak relasi antar manusia, kapitalisme tingkat akhir juga memberikan musuh baru untuk manusia: teknologi. Tema persaingan antara manusia dan teknologi menjadi satu perenungan terbuka yang dimunculkan di akhir film. Silakan diskusikan bersama kerabat atau film enthusiast lainnya.
Bagi saya, film ini adalah salah satu yang terbaik tahun 2025, bersanding dengan Weapons dan One Battle After Another. Jika Parasite adalah tentang pergulatan kelas bawah, No Other Choice adalah tentang kegelisahan kelas menengah. Keduanya sama-sama menohok. Masih mengantongi angka 100% di situs Rotten Tomatoes, film ini rilis di bioskop Indonesia mulai 1 Oktober 2025. Jangan sampai terlewat, ya!


