[SimpulanSeptember]: Menulis sebagai Napas, Doa, dan Tanggung Jawab

Posted on

Menulis sebagai Napas, Doa, dan Tanggung Jawab

Selama bulan September 2025, saya menulis lebih dari delapan puluh artikel. Bukan angka yang lahir dari ambisi viral, tapi dari disiplin harian: duduk di depan layar, membuka dokumen kosong, lalu membiarkan pikiran, hati, dan pengalaman mengalir menjadi kata. Bagi saya, menulis bukan sekadar aktivitas, ia adalah napas, doa, dan tanggung jawab. Menulis bukan untuk menyisihkan atau mengisi waktu, tetapi menulis sebagai sebuah disiplin diri. Dari puluhan artikel itu ada tiga arus besar mengalir konsisten: pendidikan, etika kekuasaan, dan kemanusiaan lintas iman.

Pendidikan: Kelas sebagai Laboratorium Kemanusiaan

Sebagai guru di beberapa sekolah, saya membawa dunia pendidikan ke dalam tulisan bukan sebagai teori, tapi sebagai pengalaman hidup. Saya melihat wajah-wajah murid yang lelah, guru yang kehabisan energi, orang tua yang bingung, dan sistem yang terus berubah tanpa memberi kepastian. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa kurikulum Indonesia sering berubah?” atau “Apakah semua anak harus naik kelas meski belum belajar?” saya ajukan bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengajak refleksi bersama. Saya percaya pendidikan bukan soal angka rapor atau kelulusan semata, melainkan proses memanusiakan manusia. Maka, saya menulis tentang personalisasi dalam pembelajaran, peran perpustakaan keluarga, pentingnya kolaborasi sekolah-orang tua, dan learning mindset sebagai fondasi.

Saya yakin: guru bukan pengisi kepala, tapi penyalur cahaya. Dan kelas adalah tempat di mana kemanusiaan dibentuk, bukan pabrik nilai.

Etika Kekuasaan: Suara yang Tak Takut Menegur

Saya juga tak diam melihat krisis etika di pusat kekuasaan. Dalam artikel seperti “Gaji Tetap Mengalir, Tapi Hati Rakyat Sudah Pergi”, saya menyoroti ironi sistem: anggota DPR yang diusir partai tetap menerima gaji dari uang rakyat, tanpa rasa malu. Rakyat adalah majikannya. Bukan partai. Bukan elite. Tapi rakyat yang menghitung receh untuk makan malam. Saya menulis dengan tegas, tapi tanpa kebencian. Saya mengkritik pernyataan pejabat yang merendahkan rakyat (seperti “Yang ngomong DPR korup itu orang tolol!”) bukan sebagai serangan, tapi sebagai pengingat kontrak moral demokrasi.

Kekuasaan tanpa kerendahan hati melahirkan tirani kecil-kecilan. Dan tirani itu tak selalu berupa pentungan, kadang ia datang dalam bentuk kata yang merendahkan. Saya juga menulis tentang mahasiswa yang turun ke jalan. Dalam “Mendemo dengan Adab”, saya mengingatkan: “Demonstrasi bukan musuh demokrasi, ia adalah nadinya. Tapi ketika fasilitas umum dirusak, rakyat kecil yang terluka.” Saya menyerukan pendidikan politik berbasis karakter, di mana hak berpendapat selalu diimbangi kewajiban untuk tidak merusak, tidak melukai, dan tetap mendengar.

Kemanusiaan & Spiritualitas: Menulis dari Hati yang Terbuka

Di tengah kritik dan analisis, saya menyisakan ruang untuk jiwa. Sebagai seorang Katolik, saya menulis renungan seperti “Allah Sumber Pembaruan Relasi dan Harapan yang Tidak Mengecewakan”, bukan untuk menggurui, tapi untuk berbagi pergumulan iman. Yang mungkin mengejutkan: saya juga menulis “Meneladani Cahaya Nabi Muhammad untuk Indonesia yang Damai dan Adil”. Di sini, saya (seorang Katolik) mengakui hikmah universal dari keteladanan Nabi Muhammad SAW: Rahmatan lil ‘Alamin, pemaafan, dialog, dan keadilan. “Nabi membangun Madinah bukan dengan pedang, tapi dengan hati yang lapang.” Dan di Indonesia yang sedang retak, kita butuh teladan itu, melintasi batas agama.

Saya juga menulis puisi seperti “Seruan untuk Jiwa yang Masih Memiliki Indonesia”, yang ditujukan untuk pejabat, aparat, demonstran, dan semua anak bangsa:
“Wahai yang duduk di istana kekuasaan… setiap rupiah yang kau naikkan untuk dirimu, adalah tetes air mata anak sekolah yang tak mampu beli buku.”
“Wahai yang berseragam… jangan jadikan gas air mata jawaban atas keluh kesah rakyat.”
“Dan kau, saudaraku yang turun dengan dada membara… hentikan tanganmu sebelum menghancurkan warisan bangsa.”

Puisi itu bukan sindiran, ia pelukan nasional yang mengajak kita berhenti saling menyalahkan, dan mulai saling menjaga.

“Kekuasaan Kata”: Menulis sebagai Pelayanan

Sebagai editor dan pengelola Penerbit Bajawa Press, saya juga menulis seri “Kekuasaan Kata”, delapan bagian yang mengupas etika, proses, dan jiwa seorang penulis. Di sini, saya berbagi tentang mental block, mind mapping, diary sebagai tempat bersandar, dan keyakinan bahwa:
“Menulis bukan untuk viral, tapi untuk menyentuh, meski hanya satu hati.”

Saya juga menulis tentang Pegadaian, bukan sebagai promosi, tapi sebagai pengakuan:
“Di tengah krisis ekonomi, Pegadaian adalah jaring pengaman bagi rakyat kecil.”

Dan mimpi mereka, untuk sekolah, berobat, atau buka usaha kecil, layak dihormati.

Empat Pilar Menulis Saya di September 2025

Pertama, pendidikan. Bagi saya, sekolah bukan pabrik nilai atau tempat menghafal sila Pancasila tanpa makna. Ia harus menjadi ruang di mana anak-anak diproses menjadi manusia utuh yang berpikir kritis, berempati, dan berani bersuara dengan cara yang beradab. Dalam tulisan seperti “Mengapa Kurikulum Sering Berubah?” dan “Personalisasi adalah Jiwa Pendidikan Bermutu”, saya menekankan bahwa pendidikan yang bermutu lahir dari pengakuan atas keunikan setiap anak, bukan dari standarisasi yang mematikan kreativitas.

Kedua, etika kekuasaan. Saya percaya bahwa pejabat publik (entah di DPR, kementerian, atau pemerintah daerah) bukanlah tuan, melainkan pelayan rakyat. Dalam “Gaji Tetap Mengalir, Tapi Hati Rakyat Sudah Pergi”, saya mengingatkan bahwa uang negara yang mengalir ke rekening mereka berasal dari keringat rakyat kecil yang bahkan kesulitan membeli buku untuk anaknya. Dan ketika rakyat turun ke jalan, saya tidak serta-merta menghakimi. Dalam “Mendemo dengan Adab”, saya membedakan antara aspirasi yang tulus dan kekerasan yang merusak, sekaligus menyerukan: hak berpendapat harus diimbangi kewajiban untuk tidak melukai sesama rakyat.

Ketiga, kemanusiaan lintas iman. Sebagai seorang Katolik, saya menulis “Meneladani Cahaya Nabi Muhammad untuk Indonesia yang Damai dan Adil” bukan sebagai formalitas, tapi sebagai pengakuan jujur: nilai-nilai seperti pemaafan, dialog, dan keadilan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah warisan kemanusiaan universal, yang selaras dengan ajaran Injil yang saya imani. Dalam puisi “Seruan untuk Jiwa yang Masih Memiliki Indonesia”, saya menyapa pejabat, aparat, dan demonstran dengan satu pesan: kita semua punya tanggung jawab menjaga Indonesia, bukan menghancurkannya dengan tangan sendiri.

Keempat, etika menulis itu sendiri. Saya percaya bahwa kata adalah amanah, bukan senjata. Dalam seri “Kekuasaan Kata”, saya menulis tentang bagaimana menulis bisa menjadi ritual penyembuhan, pelayanan, dan pertemuan jiwa. Dan dalam “Saat Pena Menari… Mendadak Beku”, saya jujur tentang kebekuan kreatif karena menulis yang autentik lahir bukan dari kepura-puraan, tapi dari kerentanan yang diakui.

Keempat pilar ini bukan sekadar topik. Mereka adalah komitmen hidup: untuk memanusiakan pendidikan, menegakkan etika kekuasaan, merawat kemanusiaan lintas batas, dan menjaga integritas kata. Dan selama Indonesia masih membutuhkan suara yang jujur, saya akan terus menulis bukan untuk menggurui, tapi untuk berjalan bersama.

Simpulan: Menulis yang Tak Pernah Berhenti, Karena Indonesia Masih Butuh Kata yang Jujur

Menulis lebih dari delapan puluh artikel dalam sebulan bukan prestasi, ia adalah bukti komitmen, ketekunan dan kesetiaan pada diri untuk disiplin membaca, disiplin mengurai ide, disiplin meninggalkan jejak. Saya menulis bukan untuk dipuji, tapi karena percaya bahwa kata yang jujur bisa menjadi benih perubahan jika bukan untuk hari ini ya untuk hari esok, dan esoknya lagi.

Saya tidak menulis untuk mengubah dunia sekaligus.
Saya menulis agar satu guru kembali semangat, satu pejabat merasa malu, satu mahasiswa berpikir ulang, satu ibu tersenyum, dan satu anak tetap percaya pada Indonesia.

Di tengah banjir informasi yang dangkal, saya memilih kedalaman.
Di tengah wacana yang penuh kebencian, saya memilih dialog.
Di tengah keputusasaan, saya memilih harapan, bukan yang buta, tapi yang lahir dari kejujuran.

Dan ketika bulan September berakhir, saya kembali membuka dokumen baru.
Karena selama masih ada yang perlu dikatakan, saya akan terus menulis di bulan yang baru nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *