Awal Mula Konflik: Niat Baik Wakaf Tanah yang Berujung Perselisihan
Imam Muslimin dan Rosida Vignesvari membeli tanah kavling di Jalan Joyogrand Kavling Depag III Atas pada 2007, saat perumahan itu masih dalam tahap pengembangan awal. Saat itu, akses jalan masuk ke kawasan hanya setapak kecil yang menyulitkan warga, sehingga pengembang meminta sebagian lahan yang dibeli untuk disumbangkan sebagai fasilitas umum—sebuah praktik umum di proyek perumahan untuk mempercepat infrastruktur. Dengan niat ikhlas, pasangan ini mewakafkan sebidang tanah depan rumah mereka, yang kini menjadi jalan utama sepanjang sekitar 10 meter lebarnya, demi kemudahan tetangga. “Dulu tahun 2007 waktu beli tanah ke pengembang bilang kepada saya supaya sedekah jalan. Karena jalan masuk ke kavling hanya setapak dan sempit. Jadi jalan di depan rumah kami itu adalah tanah yang kami beli,” cerita Rosida dengan nada getir, mengenang bagaimana kontribusi itu awalnya diterima sebagai bentuk gotong royong komunal. Namun, seiring waktu, lahan wakaf itu justru menjadi sumber konflik ketika tetangga mereka, Sahara, mulai memanfaatkannya untuk keperluan pribadi: mendirikan kandang kambing dan area parkir bagi armada mobil rental miliknya yang berjumlah hingga lima unit.
Perselisihan mulai memanas sekitar Juli 2025, ketika Yai Mim menegur Sahara agar tidak memasang pagar permanen di atas lahan wakaf tersebut, yang tepat bersebelahan dengan akses jalan utama. Pagar itu, menurut Rosida, tidak hanya menghalangi lalu lintas pejalan kaki tapi juga mengubah fungsi wakaf yang seharusnya untuk kepentingan umum menjadi milik pribadi. “Jadi tanah sedekah untuk jalan, bukan untuk parkir mobil rental atau pagar kandang. Dan keberatan pula dipakai untuk parkir mobil-mobil Sahara. Dulu sangat sering parkir di depan rumah saya,” keluh Rosida, menjelaskan bagaimana hal ini bukan hanya soal batas tanah tapi juga rasa hormat terhadap niat wakaf yang dalam Islam dianggap amal jariyah abadi. Sahara, di sisi lain, membantah keras klaim kepemilikan Yai Mim atas lahan itu, menyatakan bahwa tanah wakaf sebenarnya milik pihak lain dan bukti kepemilikan asli ada di tangan pemilik sah. “Kami ada bukti dan keterangan pemilik, bahwa tanah itu bukan milik dia (Imam Muslimin) dan tanah tersebut ada yang punya bukan tanah waqaf,” tegas Sahara saat dikonfirmasi, menambahkan bahwa Yai Mim baru menempati kawasan itu sekitar setahun terakhir, sementara ia sudah lima tahun lebih menetap di sana.
Konflik ini semakin rumit karena melibatkan elemen emosional keluarga; Sahara, yang menjalankan usaha rental mobil skala kecil untuk menafkahi keluarga, merasa teguran Yai Mim adalah serangan pribadi terhadap mata pencahariannya. Sementara itu, Yai Mim, sebagai mantan dosen yang sering mengajar etika Islam, melihat ini sebagai pelanggaran prinsip wakaf yang harus dipertahankan demi keadilan komunal. Tanpa mediasi formal dari RT atau RW, perselisihan kecil ini berkembang menjadi perdebatan sengit di depan rumah, yang direkam dan disebarkan melalui grup WhatsApp lingkungan, mempercepat eskalasi hingga melibatkan seluruh warga.
Eskalasi Viral: Video Guling-Guling dan Tuduhan Pelecehan yang Menghancurkan Karier
Apa yang dimulai sebagai sengketa tanah kian memburuk ketika video-video pendek mulai beredar di TikTok dan platform lain pada awal September 2025, menampilkan Yai Mim dalam situasi yang memalukan: guling-guling di tanah seolah mengalami stroke, diikuti tuduhan pelecehan seksual terhadap perempuan tetangga. Video tersebut, yang diklaim direkam oleh Sahara dan suaminya, Sofyan, dengan cepat viral dan menarik jutaan tayangan, memicu gelombang kecaman netizen yang melihatnya sebagai bukti perilaku tidak pantas dari seorang figur agama. “Itu fitnah keji yang dilakukan oleh orang yang hasut terhadap saya. Dan semuanya tidak ada satu pun yang benar,” bantah Yai Mim pada 16 September 2025, menjelaskan bahwa aksi guling-guling itu hanyalah respons emosional saat argumen memanas, bukan pura-pura sakit seperti yang diframing. Ia menuding Sahara sebagai dalang di balik pengeditan video untuk menjatuhkannya, bahkan mengungkap bahwa Sahara pernah meminta bantuannya untuk menulis artikel atau tulisan, yang kini dibalik menjadi senjata.
Dampaknya langsung terasa di dunia profesional Yai Mim; sebagai dosen non-PNS di UIN Malang, ia menerima tekanan dari kampus untuk mundur setelah video itu menyebar ke kalangan mahasiswa dan rekan sejawat. Pada pertengahan September, Yai Mim secara sukarela mengajukan pengunduran diri, menunjukkan surat resmi yang menyatakan ia “anti zina” sebagai hafidz Quran, dan menegaskan tuduhan pelecehan adalah rekayasa untuk menghancurkan reputasinya. “Saya ini orang yang anti zina. Kenapa? Saya ini khafidul quran dan saya hamilul quran,” tegasnya, menyoroti kontradiksi antara citra religiusnya dengan tuduhan tersebut. Video-video itu tidak hanya merusak karier 15 tahunnya sebagai pengajar filsafat Islam, tapi juga memicu laporan polisi dari tetangga lain seperti Mimim Mustofa pada 25 September 2025, dengan dugaan serupa yang kini sedang disidik Polres Malang Kota.
Di balik viralitas itu, terungkap dinamika media sosial yang memperburuk konflik: grup WhatsApp RT menjadi arena adu narasi, di mana tuduhan seperti minum miras, membakar lahan sembarangan, dan ucapan tidak pantas terhadap ibu-ibu rumah tangga dilemparkan tanpa verifikasi. Yai Mim mengaku tidak pernah dimediasi atau diberi kesempatan tabayyun (klarifikasi), membuatnya merasa seperti korban linch mob digital yang kini merembet ke dunia nyata.
Keputusan Pengusiran: Lima Poin Tuduhan Warga yang Dianggap Fitnah
Puncak tragedi terjadi pada 7 September 2025, ketika warga RT 09/RW 09 menggelar rapat darurat di Musala Al-Ikhlas, menghasilkan surat keputusan bersama yang meminta Yai Mim dan Rosida meninggalkan lingkungan dalam waktu singkat. Surat itu, ditandatangani oleh 25 warga termasuk Ketua RT Prajogo Subianto, mencantumkan lima poin tuduhan: pelanggaran asas kepatuhan sosial seperti ucapan tidak pantas kepada perempuan, pembakaran lahan yang berbahaya, gangguan ketertiban melalui pertengkaran keras, penyalahgunaan grup WhatsApp untuk provokasi, dan perilaku meresahkan berulang yang melanggar adat istiadat setempat. “Benar, itu memang keputusan warga,” ujar Prajogo, menekankan bahwa lingkungan yang sebelumnya tenang mulai terganggu sejak Juli 2025, dengan insiden seperti teguran kasar yang membuat ibu-ibu merasa tidak aman.
Yai Mim menerima surat itu secara resmi pada 22 September 2025 dalam pertemuan di musala, di mana ia mengklaim mengalami intimidasi dan bahkan pemukulan ringan dari Ketua RT. “Jadi poin yang tersebut itu, kami gak pernah dimintai keterangan, gak pernah di mediasi, kami gak pernah diberi kesempatan tabayyun. Tiba-tiba saja kami diusir dari RT ini,” keluhnya, menyebut seluruh tuduhan sebagai fitnah yang dipelintir dari perselisihan tanah awal. Rosida menambahkan bahwa setelah menerima surat, suami Sahara, Sofyan, memprovokasi dengan kata-kata menghina, yang memicu aksi merobohkan pagar kandang sebagai respons defensif—bukan perusakan seperti yang dituduhkan. Warga, bagaimanapun, melihat aksi itu sebagai puncak ketidakpatuhan, memperkuat alasan pengusiran untuk menjaga harmoni komunal.
Proses pengusiran ini menyoroti kelemahan musyawarah RT di perumahan modern, di mana keputusan kolektif bisa terasa seperti pengadilan rakyat tanpa due process. Yai Mim, yang merasa terasingkan karena tetangga kini menghindari sapaannya, melihat ini sebagai gerakan terkoordinasi untuk mengucilkannya, meski rumah itu miliknya sendiri.
Wali Kota Turun Tangan, Keluarga Terlantar
Pengusiran ini meninggalkan Yai Mim dan Rosida dalam kondisi terlantar; mereka kini berpindah-pindah dari mobil pribadi ke kos-kosan murah di sekitar Malang, sambil menunggu rumah dijual untuk biaya relokasi. “Saya merasa terasingkan, saya merasa ada gerakan untuk mengasingkan saya di lingkungan ini,” ungkap Yai Mim, menggambarkan bagaimana hubungan tetangga yang dulu hangat kini berubah dingin. Rencana penjualan rumah, yang dibeli dengan harga sekitar Rp150 juta pada 2007 dan kini bernilai Rp800 juta, menjadi satu-satunya harapan, meski prosesnya bisa memakan waktu berbulan-bulan di tengah stigma viral.
Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat, akhirnya turun tangan pada 28 September 2025, menyatakan ketidaktahuannya atas detail konflik tapi menekankan penyelesaian di tingkat RT/RW terlebih dahulu. “Saya tidak tahu masalahnya, biar diselesaikan di tingkat RT/RW dulu. Nanti bagaimana hasilnya biar dilaporkan ke saya,” katanya, sambil berjanji memfasilitasi mediasi resmi di tingkat kecamatan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Pemerintah kota juga mendorong verifikasi klaim wakaf tanah melalui Badan Wakaf Indonesia cabang Malang, yang bisa menjadi kunci penyelesaian hukum atas lahan sengketa.
Kisah ini menjadi pelajaran pahit bagi masyarakat urban: bagaimana niat baik seperti wakaf bisa berbalik menjadi bencana jika tak ada dialog terbuka. Bagi Yai Mim, ini adalah ujian iman; baginya, keadilan sejati datang dari proses hukum, bukan pengusiran massa. Sementara warga Joyogrand berharap kedamaian kembali, pertanyaan menggantung: siapa yang sebenarnya menjadi korban dalam pusaran fitnah digital ini?


