Permasalahan Program Makan Bergizi Gratis di Indonesia
Beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh sejumlah kasus keracunan makanan yang terjadi di berbagai daerah. Puluhan siswa SD di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten harus dilarikan ke puskesmas setelah mengonsumsi makanan yang didistribusikan melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Kasus serupa juga muncul di Sulawesi dan Nusa Tenggara, dengan jumlah korban yang bervariasi. Tidak hanya siswa, tetapi guru dan orang tua murid pun ikut menjadi korban.
Data terkini menunjukkan bahwa hingga 16 September, terdapat 60 kasus dengan 5.207 penderita. Sementara data dari BPOM per 10 September mencatat 55 kasus dengan 5.320 penderita. Fakta ini menimbulkan ironi besar dalam ruang publik.
Program MBG awalnya diproyeksikan sebagai inovasi penting dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menekan angka stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia. Namun, di tengah ambisi tersebut, justru muncul masalah serius terkait keamanan pangan, standar mutu, serta tata kelola dana publik yang kurang transparan dan akuntabel.
Sebagai pelaksana program, pemerintah membentuk Badan Gizi Nasional (BGN). Lembaga ini masih baru dan belum memiliki fondasi yang kuat, namun langsung dihadapkan pada tanggung jawab besar. Anggaran BGN tahun 2025 mencapai Rp 71 triliun, naik hampir lima kali lipat menjadi Rp 300 triliun pada tahun berikutnya. Besaran ini menjadikan BGN sebagai lembaga dengan anggaran terbesar di republik ini.
Namun, hingga Agustus 2025, serapan anggaran MBG hanya sekitar Rp 13 triliun. Angka ini mencerminkan adanya masalah mendasar dalam kapasitas dan kualitas kelembagaan. Lembaga baru yang belum memiliki sistem pengawasan dan sumber daya manusia yang matang dipaksa mengelola dana besar untuk program nasional. Akibatnya, implementasi sangat lamban, potensi penyimpangan, dan masalah mutu di lapangan muncul.
Pakar kebijakan publik, Christopher Simon, dalam bukunya “Public Policy” (2017), menempatkan institusi dan struktur pemerintahan sebagai faktor utama dalam implementasi kebijakan. Desain kelembagaan, sistem hukum, serta kapasitas birokrasi menentukan bagaimana kebijakan dirumuskan dan dijalankan. Menurut Simon, institusi dapat menjadi penggerak perubahan, tetapi juga bisa menjadi penghambat jika tidak fleksibel atau belum jelas bentukannya.
Dengan demikian, jika dilihat dari kacamata kebijakan publik, MBG dan BGN sebenarnya belum memenuhi syarat untuk dijalankan. Dalam praktik distribusi kebijakan MBG, tanggung jawab banyak dilemparkan kepada pemerintah daerah serta pihak ketiga seperti koperasi, UMKM, dan vendor katering lokal. Ketiadaan standar nasional yang ketat membuat kualitas makanan dan sarana tempat makanan sangat bervariasi, bahkan dalam banyak kasus tidak memenuhi prinsip dasar higienitas. Di sinilah akar masalah keracunan mulai tampak.
Makanan yang seharusnya menjadi penopang gizi justru menjadi sumber penyakit dan membahayakan nyawa. Kasus-kasus seperti ini adalah alarm keras bagi pemerintah bahwa program sebesar dan semasif MBG sedang berjalan tanpa fondasi institusional dan standar mutu yang kokoh.
Jika dibandingkan dengan negara lain yang telah lebih dulu menerapkan program serupa, kelemahan desain MBG di Indonesia semakin jelas terlihat. Jepang, misalnya, memiliki tradisi makan siang sekolah sejak 1940-an. Sistemnya bukan sekadar pembagian makanan, tetapi bagian integral dari kurikulum pendidikan. Sekolah memiliki dapur sendiri, tenaga nutrisionis khusus, serta keterlibatan orangtua dalam pengawasan. Transparansi anggaran dan keterlibatan publik memastikan kualitas program makan gratisnya tetap terjaga.
Di China, pemerintah menjalankan program nutrisi nasional bagi anak-anak sekolah di daerah pedesaan miskin. Skemanya terfokus, dengan pengawasan ketat dari pusat, dan menekankan pada tujuan spesifik, yakni mengurangi malnutrisi. Hal yang sama juga berlangsung di Korea Selatan. Malaysia punya program Rancangan Makanan Tambahan, tetapi dengan cakupan selektif hanya bagi keluarga miskin sehingga anggaran lebih terkendali. Sementara Singapura tidak memilih model makan gratis massal, melainkan memberikan bantuan gizi bagi keluarga berpenghasilan rendah dengan standar mutu ketat. Itupun dalam bentuk Financial Assistance Scheme berupa voucher untuk makanan. Dan di Filipina juga punya program feeding school, tetapi cakupannya terbatas pada anak-anak dengan kondisi gizi buruk.
Dari perbandingan tersebut, tampak bahwa sebagian besar negara memilih model terfokus, selektif, dengan standar mutu yang ketat. Namun, Indonesia justru mengambil jalan ekstrem, yakni universal, cakupan masif berskala nasional dengan anggaran raksasa, tetapi tanpa kesiapan kelembagaan memadai dan tanpa mekanisme kontrol yang jelas.
Misi awal MBG jelas sangat mulia. Indonesia memang menghadapi masalah serius stunting yang hingga 2023 masih berada di kisaran 21,5 persen, 2024 di kisaran 19,8 persen, dan di tahun ini di kisaran 18,8 persen. Angka yang sangat tinggi tentunya. Sehingga intervensi negara sangat diperlukan. Namun, ketika kebijakan mulia ini dijalankan dalam kerangka populisme politik, maka potensi masalah besar muncul ke permukaan.
Janji MBG adalah ikon kampanye Prabowo Subianto. Setelah terpilih, janji itu dieksekusi secara cepat, bahkan terkesan tergesa-gesa. Fokus utama bukan pada bagaimana membangun sistem pangan sekolah yang sehat dan berkelanjutan, melainkan pada masifitas distribusi dan jumlah penerima manfaat. Seolah-olah yang lebih penting adalah klaim politik bahwa jutaan anak setiap hari mendapat makan gratis. Pertanyaan soal apakah makanan itu benar-benar bergizi, aman, dan efektif menurunkan stunting, cenderung terabaikan.
Diakui atau tidak, indikasi seperti ini adalah pola klasik populisme, program besar dengan anggaran publik raksasa yang lebih mengutamakan citra politik jangka pendek ketimbang hasil jangka panjang yang terukur. Dampak dari logika politik semacam ini sudah terlihat. Standar mutu makanan terabaikan, proses distribusi dijalankan seadanya, dan pengawasan kurang jelas juntrungannya. Akibatnya muncul keracunan makanan massal. Bahkan lebih dari itu, ada bahaya yang lebih sistemik, yakni program dengan anggaran triliunan rupiah berisiko besar menjadi ladang korupsi baru.
Dengan dana Rp 71 triliun tahun ini dan proyeksi Rp 300 triliun tahun depan, risiko penyalahgunaan sangatlah besar. Pengalaman berbagai program bantuan sosial di Indonesia menunjukkan betapa mudahnya kebocoran terjadi ketika distribusi melibatkan banyak pihak, sementara pengawasannya sangat minim dan lemah. BGN yang masih muda, belum memiliki sistem tata kelola organisasional dan digital yang kokoh, apalagi audit internal yang kuat, termasuk mekanisme pelaporan publik yang transparan. Mekanisme tender penyedia makanan di daerah rawan dipenuhi praktik kolusi antara pejabat dan vendor. Tanpa pengawasan publik yang ketat, uang rakyat dalam jumlah fantastis bisa menguap tanpa dampak nyata bagi perbaikan gizi anak-anak Indonesia.
Kenyataan inilah, yang menurut saya, harus menjadi bahan utama evaluasi total dari MBG. Pertama, audit menyeluruh terhadap kasus keracunan harus dilakukan dengan transparan, bukan sekadar penanganan administratif di daerah. Kedua, kelembagaan BGN perlu diperkuat, bukan hanya dari segi sumber daya manusia, tetapi juga sistem operasional, mekanisme pengawasan digital, dan keterlibatan ahli gizi profesional. Ketiga, orientasi program harus diubah, dari model masif yang seragam menjadi model selektif yang menargetkan anak-anak miskin, wilayah dengan prevalensi stunting tinggi, serta daerah terpencil. Dengan begitu, anggaran bisa lebih fokus dan berdampak nyata. Keempat, harus ada standar mutu nasional yang jelas, termasuk menu, komposisi gizi, serta standar higienitas makanan. Kelima, transparansi dan akuntabilitas anggaran wajib menjadi prinsip utama. Anggaran MBG harus dipublikasikan secara terbuka dengan laporan realisasi yang dapat diakses publik, sehingga masyarakat bisa menilai langsung efektivitas program.
Tanpa langkah-langkah ini, program MBG berisiko besar menjadi proyek populis gagal yang hanya menghabiskan uang rakyat tanpa dampak signifikan. Lebih parah lagi, dalam skenario terburuk, program ini justru bisa merugikan kesehatan anak-anak jika kasus keracunan terus berulang. Pemerintah tidak boleh berlindung di balik jargon mulia pengentasan stunting untuk menutupi kelemahan struktural yang ada. Justru karena misinya mulia, program ini harus dikelola dengan standar tinggi dan tata kelola kelas dunia.
Program Makan Bergizi Gratis lahir dengan niat baik untuk memperbaiki masa depan generasi Indonesia. Namun, niat baik saja tidak cukup. MBG memerlukan perencanaan matang, kelembagaan mapan, standar mutu ketat, serta akuntabilitas publik yang tidak bisa ditawar. Kasus keracunan makanan hanyalah gejala dari masalah yang jauh lebih dalam, yakni tata kelola anggaran publik yang rapuh, kelembagaan yang belum siap, serta kecenderungan menjadikan kebijakan publik sebagai instrumen pencitraan politik. Dengan anggaran Rp 71 triliun tahun ini dan hampir Rp 300 triliun tahun depan, pemerintah berkewajiban penuh memastikan setiap rupiah memberi hasil yang terukur berupa penurunan prevalensi stunting secara signifikan, perbaikan status gizi, serta meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak. Jika tidak, maka MBG bukan hanya akan dikenang sebagai kebijakan populis paling mahal dalam sejarah republik ini, tapi juga paling memalukan. Evaluasi menyeluruh, bahkan perubahan fundamental, harus dilakukan segera. Jika perlu, program ini diganti dengan desain baru yang lebih selektif, berbasis bukti, dan berfokus pada kualitas ketimbang masifitas. Hanya dengan cara itu uang rakyat tidak terbuang sia-sia, dan misi mulia menyehatkan generasi masa depan bangsa benar-benar tercapai. Hanya dengan cara itu, MBG tidak terpeleset menjadi singkatan dari Makan Beracun Gratis. Amit-amit.


