Kondisi Keuangan Pemerintah dan Tantangan Pengelolaan Anggaran
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada tantangan berat dalam menjaga stabilitas pengelolaan anggaran. Penurunan performa penerimaan pajak, risiko rasio utang, serta membengkaknya alokasi untuk pembayaran bunga utang menjadi isu utama yang harus segera diatasi.
Dalam Rancangan APBN 2026, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pembayaran bunga utang senilai Rp599,4 triliun, naik 8,56% dibandingkan tahun 2025 yang mencapai Rp552,1 triliun. Jumlah ini setara dengan 17,8% dari pagu belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2026 senilai Rp3.136,5 triliun. Meskipun jumlah ini lebih rendah dibandingkan tiga tahun terakhir, anggaran pembayaran bunga utang tetap menjadi komponen paling dominan dalam struktur belanja pemerintah pusat.
Dibandingkan dengan belanja subsidi atau belanja sosial yang masing-masing hanya dialokasikan senilai Rp318,9 triliun dan Rp167,36 triliun di RAPBN 2026, pembayaran bunga utang jauh lebih besar. Besarnya porsi tersebut memaksa pemerintah menarik utang baru pada tahun depan, termasuk untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang lama. Rencana penarikan utang sebesar Rp781,9 triliun pada tahun 2026 bahkan menjadi yang terbesar sejak pandemi berakhir.
Strategi Pengelolaan Utang yang Diterapkan
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menyatakan bahwa kebijakan anggaran, termasuk penarikan utang, dirancang untuk meredam gejolak global dan mendukung agenda pembangunan. Dokumen tersebut menegaskan bahwa pengelolaan utang dilakukan secara prudent, akuntabel, dan terkendali agar dapat menjaga keberlanjutan fiskal.
Untuk mengelola utang, pemerintah menetapkan tiga prinsip utama:
- Akseleratif: Memanfaatkan utang sebagai katalis percepatan pembangunan dan menjaga momentum pertumbuhan.
- Efisien: Memperhatikan penerbitan utang dengan biaya minimal melalui pengembangan pasar keuangan dan diversifikasi instrumen utang.
- Seimbang: Menjaga portofolio utang pemerintah yang optimal antara biaya minimal dan tingkat risiko yang dapat ditoleransi.
Mimpi Presiden Prabowo untuk APBN Tanpa Defisit
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keinginannya untuk menekan defisit sekecil mungkin, bahkan berharap tidak ada defisit sama sekali pada tahun 2027-2028. Ia berharap bisa menyampaikan hal tersebut di majelis, menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam mengelola anggaran.
Namun, mimpi ini masih jauh dari realitas. Dengan besarnya porsi pembayaran bunga utang, performa penerimaan pajak yang loyo, serta kebutuhan belanja untuk program ambisius pemerintah, target tersebut sangat sulit dicapai. Selain itu, rasio pajak pemerintah saat ini masih terjebak di kisaran 10-11% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa pemerintah akan terlebih dahulu melihat perkembangan APBN 2026 sebelum memikirkan defisit di tahun-tahun berikutnya. Ia menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengkaji strategi untuk mencapai balance budget, yaitu defisit APBN menjadi 0% atau bahkan surplus.
Tantangan untuk Mencapai Balance Budget
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa untuk menekan defisit, pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak secara optimal. Namun, hal ini tidak mudah karena masyarakat mungkin tidak siap dikenakan pajak tinggi jika kesejahteraan tidak meningkat.
Yusuf juga menyoroti bahwa sektor-sektor dengan pertumbuhan pemungutan pajak tinggi memiliki kontribusi relatif minim, sementara sektor dengan kontribusi pajak besar memiliki pertumbuhan pemungutan yang rendah. Hal ini membuat pencapaian target defisit 0% semakin sulit.
Kesimpulan
Kondisi keuangan pemerintah yang terus mengalami tekanan memerlukan strategi yang lebih efektif dan inovatif. Diperlukan keseimbangan antara pengelolaan utang, peningkatan penerimaan pajak, dan penghematan belanja agar tujuan balance budget dapat tercapai. Meski mimpi tanpa defisit masih jauh dari realitas, langkah-langkah proaktif dan transparan akan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan anggaran di masa depan.


