Disiplin Kota, Solusi Keluar dari Masalah Pak Ogah dan Gepeng di Pekanbaru

Posted on

Fenomena Pak Ogah dan Gepeng di Pekanbaru: Masalah Sosial yang Membutuhkan Solusi Terpadu

Fenomena pak ogah dan gelandangan-pengemis (gepeng) di Kota Pekanbaru masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Bukan hanya sekadar keberadaan individu di jalanan, melainkan cermin dari kelemahan tata kelola kota dalam mengatur ruang publik dan perilaku sosial masyarakat.

Pak ogah, misalnya, tidak muncul secara tiba-tiba. Mereka hadir di ruang-ruang lalu lintas ketika terjadi kekosongan pengaturan. Ketika arus kendaraan padat, simpang jalan semrawut, dan aparat tak kunjung hadir, masyarakat menemukan alternatif ‘regulator’ bernama pak ogah. Ini adalah hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah kota, bahwa setiap kekosongan pengaturan pasti akan diisi oleh pihak lain.

Masalahnya, aparat seharusnya datang lebih dulu dari pak ogah. Negara memiliki perangkat seperti kepolisian dan dinas perhubungan untuk memastikan lalu lintas terkendali. Namun, ketika negara lambat mengisi ruang itu, masyarakat menciptakan mekanisme sendiri, walau dengan segala risiko. Dalam teori sosial, ini adalah bentuk ‘substitusi sosial’ ketika fungsi negara digantikan oleh aktor nonformal.

Di sisi lain, sering kali kita membuat aturan tanpa kesiapan perangkat untuk melaksanakannya. Ada aturan lalu lintas, larangan pak ogah, dan regulasi soal ketertiban umum, tetapi pelaksanaannya lemah dan penuh pembiaran. Aturan seperti hanya hidup di atas kertas. Kita pelihara sebentar, lalu setelah itu dilupakan. Padahal pembiaran itu sama saja dengan ‘beternak kejahatan’.

Saat pembiaran berlangsung, kejahatan sosial tumbuh berlapis: mulai dari praktik kecil seperti meminta uang receh, berkembang ke pemalakan, hingga mengorganisir kelompok untuk menguasai titik jalan tertentu. Semua dimulai dari ketidaktegasan. Karena itu, jika kita tidak siap melaksanakan aturan secara konsisten, lebih baik jangan membuat aturan. Aturan tanpa pengawasan hanya menimbulkan frustrasi dan memperkuat ketidakdisiplinan warga.

Akhirnya, masyarakat justru ketagihan pada kehadiran pak ogah. Banyak pengendara merasa terbantu, meski tahu itu ilegal. Mereka memberi seribu-dua ribu, merasa masalah selesai. Padahal pola ini justru memperkuat keberlangsungan pak ogah. Ketika ada uang, ada motivasi untuk bertahan. Dan ketika aparat absen, pembiaran itu menjadi normalisasi.

Namun, kita tidak boleh menutup mata, bahwa bantuan pak ogah bisa berbahaya. Malam hari, mereka sering bekerja tanpa penerangan. Ada pula yang tidak benar-benar paham cara mengatur lalu lintas, malah memperparah kemacetan. Tidak jarang pak ogah membawa anak-anak kecil ke tengah jalan, mempertaruhkan keselamatan mereka demi recehan. Di sinilah kita melihat sisi gelap dari mekanisme sosial yang dibiarkan tumbuh tanpa regulasi.

Fenomena gepeng di Pekanbaru juga menunjukkan pola serupa. Jika diperhatikan, banyak gepeng memiliki kemiripan cara meminta, bahkan menggunakan alat bantu yang sama. Anak-anak sering disuruh turun ke jalan dengan pola yang seragam. Ini mengindikasikan adanya organisasi atau kelompok yang mengatur pergerakan mereka. Fenomena ini lebih serius karena menyangkut eksploitasi anak dan jaringan sosial yang menghidupi praktik itu.

Masyarakat sering menjadi penyumbang utama bertahannya gepeng. Setiap kali memberi uang receh, secara tidak sadar kita menciptakan insentif untuk mereka tetap berada di jalan. Lebih jauh lagi, momen tertentu seperti bulan Ramadan, hari Jumat, atau musim lebaran membuat aktivitas mengemis meningkat pesat. Ini bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari ekonomi informal yang dibiarkan tumbuh.

Karena itu, persoalan pak ogah dan gepeng tidak bisa diatasi oleh satu institusi. Dinas sosial, dinas perhubungan, dan kepolisian harus bersinergi. Penertiban harus dibarengi dengan solusi alternatif: pembinaan, pemberdayaan, bahkan penciptaan lapangan kerja. Jika tidak, penertiban hanya akan memindahkan masalah ke sudut kota lain.

Selain itu, kita juga perlu bicara soal mentalitas. Fenomena ini bukan sekadar tentang uang Rp1.000 atau Rp2.000. Ini tentang budaya ketergantungan, ketidakdisiplinan, dan lemahnya kehadiran negara di ruang publik. Selama negara tidak tegas, selama masyarakat masih merasa ‘lebih mudah’ membayar pak ogah atau memberi gepeng, maka siklus ini tidak akan pernah berhenti.

Kota yang sehat adalah kota yang dikelola dengan disiplin, bukan kota yang membiarkan warganya mencari solusi sendiri di luar aturan. Pekanbaru harus berani bersikap, tidak hanya dengan regulasi, tetapi juga dengan pengelolaan nyata di lapangan. Jika tidak, kita hanya akan terus mewarisi masalah sosial yang sama dari tahun ke tahun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *