Utang Membengkak, Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Ancam Keuangan Negara

Posted on

Polemik Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dikenal dengan nama Whoosh, kini menjadi sorotan utama terkait masalah utang negara. Indonesia kini berada dalam posisi yang memprihatinkan karena beban pinjaman besar dari Tiongkok, yang semakin mengancam stabilitas keuangan negara.

Laporan Internasional dan Skema BRI

Laporan lembaga internasional pada Mei 2025 menunjukkan bahwa sebanyak 75 negara miskin hingga berkembang tengah menghadapi beban utang yang mencapai ratusan triliun rupiah kepada Tiongkok. Skema Belt and Road Initiative (BRI) yang diinisiasi oleh Negeri Tirai Bambu awalnya terlihat menjanjikan, namun di balik itu tersimpan potensi jebakan utang yang semakin mengikat banyak negara, termasuk Indonesia.

BRI memberi kesempatan bagi Tiongkok untuk mendanai proyek-proyek di berbagai negara, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, hingga infrastruktur transportasi. Namun, akibatnya banyak negara terjebak dalam pinjaman dengan bunga yang terus meningkat dan sulit dilunasi. Dalam beberapa kasus, negara peminjam bahkan harus menyerahkan aset strategis sebagai kompensasi.

Biaya Proyek yang Membengkak

Proyek Whoosh sendiri sudah diawali dengan biaya yang sangat besar. Pada tahap awal tahun 2016, estimasi biaya mencapai US$ 6,02 miliar. Namun, seiring waktu, biaya proyek mengalami pembengkakan atau cost overrun hingga mencapai US$ 7,22 miliar.

Dari total biaya tersebut, sekitar 75 persen didanai melalui pinjaman dari China Development Bank senilai US$ 5,415 miliar. Dengan bunga pokok sebesar 2 persen dan tambahan bunga 3,4 persen untuk cost overrun, konsorsium pengelola proyek (KCIC) wajib membayar bunga sebesar US$ 120,9 juta per tahun.

Kesulitan Operasional dan Kerugian Finansial

Masalah semakin berat karena operasional KCIC belum mencapai target penumpang. Hal ini berarti kerugian terus terjadi sementara beban bunga utang tetap harus dibayarkan.

PT Kereta Api Indonesia (Persero), sebagai salah satu pemegang saham utama konsorsium, terpaksa menanggung dampak besar. Dalam paparan di DPR, KAI mencatat kerugian sebesar Rp 2,239 triliun pada 2024 dan Rp 1,246 triliun pada semester I 2025 hanya dari proyek Whoosh.

Selain itu, KAI harus menyisihkan dana melalui skema sinking fund senilai Rp 1,455 triliun. Dana cadangan ini bisa ditarik sewaktu-waktu untuk menutup biaya operasional Whoosh, seperti yang terjadi pada 2024 sebesar Rp 672 miliar dan Rp 349 miliar pada semester I 2025.

Beban yang Mengancam BUMN dan Negara

Jika kondisi ini terus berlangsung, beban utang besar kemungkinan akan dialihkan kepada BUMN induk lain seperti PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara. Ujung-ujungnya, beban tersebut bisa berakhir di tangan negara, artinya menjadi tanggungan rakyat.

Risiko Jangka Panjang dan Dampak Ekonomi Nasional

Fenomena utang proyek Whoosh sejalan dengan pola global di mana banyak negara berkembang kesulitan membayar pinjaman besar kepada Tiongkok. Risiko gagal bayar tidak hanya mengancam kredibilitas pemerintah, tetapi juga berpotensi menekan APBN di masa mendatang.

Selain kerugian finansial, proyek ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait pemanfaatan jangka panjang. Jumlah penumpang yang belum sesuai target menandakan adanya ketidakseimbangan antara biaya investasi dan penerimaan. Jika tidak segera dicarikan solusi, Whoosh bisa menjadi beban berkelanjutan.

Beberapa opsi penyelesaian sempat dibahas, mulai dari restrukturisasi utang hingga skema penyertaan modal negara. Namun, langkah tersebut tidak serta merta menyelesaikan akar masalah karena pembengkakan biaya proyek sudah terlalu besar.

Ancaman Keuangan Negara

Kasus kereta cepat Whoosh memberi gambaran nyata bagaimana proyek infrastruktur berbiaya jumbo dapat menjelma menjadi ancaman keuangan negara. Apa yang awalnya dijanjikan tidak membebani APBN justru kini berpotensi menggerus keuangan negara.

Situasi ini menegaskan bahwa kehati-hatian dalam mengambil pinjaman luar negeri, terutama dari skema inisiatif global seperti BRI, harus diperkuat. Jika tidak, Indonesia bisa terjerumus semakin dalam ke dalam lingkaran utang yang sulit untuk keluar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *