Kebijakan KUR Perumahan: Optimisme dan Kritik yang Berimbang
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 13 Tahun 2025 tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan. Keputusan ini mendapat respons beragam, mulai dari optimisme hingga kritik tajam terhadap pendekatan yang diambil.
KUR sebagai Peluang untuk UMKM
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, kebijakan ini dinilai sebagai langkah penting dalam mendorong sektor properti. Ia menilai bahwa pemerintah sudah terlambat dalam memperkuat pembiayaan melalui KUR, meskipun saat ini menjadi langkah yang tepat.
“Di tengah daya beli masyarakat yang sedang lesu, memperkuat pembiayaan melalui KUR adalah langkah cerdas,” ujarnya. Menurutnya, program ini seharusnya diterapkan lebih awal, khususnya untuk mendukung sisi pasokan. Pengembang sangat membutuhkan dukungan pembiayaan agar bisa menjalankan proyek mereka dengan baik.
Junaidi juga menyampaikan bahwa selama ini sektor properti seolah luput dari perhatian sebagai objek KUR. Padahal, banyak pengembang Apersi masuk kategori usaha menengah dengan omset antara Rp 2,5 miliar hingga Rp 50 miliar per tahun. Dengan adanya KUR Perumahan, diharapkan dapat memberikan dampak positif pada perekonomian nasional.
Kritik terhadap Pendekatan KUR Perumahan
Namun, tidak semua pihak merasa yakin dengan kebijakan ini. Lektor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mohammad Jehansyah Siregar, menilai bahwa KUR Perumahan hanya menjadi solusi ajaib yang tidak relevan bagi warga miskin perkotaan dan permukiman kumuh.
Ia menuding bahwa pemerintah, khususnya Kementerian Perumahan Rakyat dan BP Tapera, didominasi oleh ekonom neoliberal yang memiliki pandangan bias pasar. “KPR dan KUR dianggap solusi ajaib, padahal tidak relevan bagi warga permukiman kumuh,” katanya.
Jehansyah menyoroti bahwa pendekatan ini justru memperlebar ketimpangan sosial dan spasial. Masalah perumahan rakyat tidak bisa disederhanakan hanya menjadi bisnis properti. Ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada pelayanan publik dan penataan kota, bukan hanya mengandalkan asumsi pasar akan menyerap permukiman kumuh secara otomatis.
Kurangnya Kemauan Politik dan Lembaga Kuat
Selain itu, Jehansyah menyoroti alasan di balik terus dipaksakannya skema kredit perbankan yang telah terbukti gagal mengatasi housing backlog. Menurutnya, hal ini terjadi karena para pejabat malas membangun sistem distribusi yang efektif dan tidak memiliki lembaga pelaksana yang kuat.
Ia menilai bahwa tugas membina UMKM seperti pengembang kecil dan pedagang bahan bangunan seharusnya menjadi ranah sektor perdagangan dan UMKM, bukan dibebani ke program perumahan. Ketiadaan lembaga perumahan rakyat yang kokoh, seperti HousinG Development Board (HDB) di Singapura atau CODI di Thailand, membuat Indonesia terjebak dalam masalah yang sama.
Jehansyah juga berargumen bahwa pemerintah terlalu memandang skema perumahan publik dan swadaya masyarakat sebagai hal yang tidak efisien. Padahal, banyak negara telah sukses menerapkan skema ini dengan dukungan kelembagaan yang kuat, mulai dari penyediaan tanah, prasarana hingga pembiayaan berbasis komunitas.
Paradoks di Balik Kebijakan
Menurut Jehansyah, KUR Perumahan justru akan memperparah paradoks kebijakan perumahan rakyat. Program ini tidak akan mampu menjangkau para pekerja informal yang merupakan mayoritas di sektor ini. Hal ini disebabkan oleh persyaratan birokratis yang sulit dipenuhi oleh mereka.
“Ini persoalan political will yang membutuhkan perhatian seorang Presiden RI,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa solusi perumahan rakyat bukanlah sekadar urusan teknis, melainkan komitmen politik tingkat tertinggi untuk berpihak pada rakyat miskin dan informal.


