Konflik Berulang Membuat Aceh Trauma – Mengapa Indonesia Perlu Belajar dari Penyelesaian Damai?

Posted on

Trauma yang Tak Pernah Hilang

Konflik bersenjata di Aceh telah meninggalkan luka mendalam pada masyarakat, terutama bagi generasi yang hidup dalam masa perang. Pengalaman traumatis ini tidak hanya memengaruhi korban langsung, tetapi juga turun-temurun kepada generasi berikutnya. Masalah serius ini masih menghantui masyarakat Aceh hingga kini karena pemerintah belum sepenuhnya serius dalam memulihkan trauma para korban.

Rajuli, seorang anak kecil berusia 12 tahun, menyaksikan ayahnya tewas di jalan desa akibat dugaan keterlibatan dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Peristiwa itu menjadi pengalaman traumatis yang ia pendam selama 22 tahun. Dengan air mata yang mengalir, ia akhirnya menceritakan kisah tersebut setelah bertahun-tahun menahan rasa sakit. “Saya tak sanggup mengungkit masalah itu,” katanya. Namun, ia merasa penting untuk menyuarakan pengalaman traumatis ini agar tidak terus-menerus dipendam.

Khalidi, ayah Rajuli, adalah salah satu dari 16 warga Desa Jambo Keupok yang dibunuh oleh tentara Indonesia pada 17 Mei 2003. Dari jumlah tersebut, 12 orang di antaranya dibakar hidup-hidup. Tragedi ini telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Presiden Joko Widodo dua tahun silam juga mengakui dan menyesali pelanggaran HAM tersebut.

Di Aceh, ada dua peristiwa lain yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara pada 3 Mei 1999, dan Peristiwa Rumoh Geudong serta pos sattis lainnya antara 1989 hingga 1998. Korban dan keluarganya dijanjikan akan direhabilitasi dan dipulihkan nama baiknya, meskipun upaya hukum tetap bisa dilakukan.

Meski Rajuli telah menerima sebagian kompensasi seperti bangunan rumah dan bantuan usaha, ia belum pernah mendapatkan pendampingan psikologi untuk mengatasi trauma yang dialaminya. Kehilangan orang tercinta melalui pembunuhan adalah pengalaman traumatis yang sulit dihapus dari ingatan. Setiap kali mendengar keributan atau melihat orang-orang berseragam loreng (TNI), ia merasa kembali mengalami peristiwa tersebut. “Seakan-akan [peristiwa kematian ayahnya] baru terjadi kemarin.”

Perasaan dendam terhadap pelaku pembunuhan ayahnya terus menghantui Rajuli. Ia bahkan pernah menyatakan bahwa “nyawa dibayar nyawa” dan tidak bisa dibeli dengan uang. Meski begitu, ia tidak menjalani aksi balas dendam karena dorongan agama dari ibunya. Kini, ia hanya berharap mendapat bantuan terapi psikologi untuk menyembuhkan trauma yang ia alami.

Pengalaman Yulida: Trauma yang Tak Pernah Menghilang

Di Desa Jambo Keupok, Yulida (46 tahun) juga mengalami trauma yang sama. Ia mengingat bagaimana aparat TNI mendobrak rumahnya dan membawa ayah serta adiknya keluar. Mereka disiksa di hadapan Yulida dan keluarga lainnya. Saat itu, Yulida dan kaum perempuan lainnya dipaksa masuk ke dalam sebuah rumah. Di luar, ia mendengar bunyi tembakan yang terus-menerus dari jam setengah tujuh pagi hingga jam 10.

Setelah tentara pergi, Yulida dan para perempuan keluar dan melihat asap hitam mengepul dari rumah-rumah yang dibakar. Mereka melihat dua tubuh pria tergeletak mati dan berdarah-darah. Ayah dan adik Yulida termasuk korban yang dibakar hidup-hidup. “Semua sudah hangus,” kata Yulida. Ia mengenali sosok ayahnya dari gulungan kain yang melilit pinggangnya dan jenazah adiknya dari celana yang dikenakannya.

Dua puluh dua tahun setelah tragedi itu, Yulida masih mengalami trauma. Ia merasa ketakutan dan amarah saat berpapasan dengan orang bersenjata berbaju loreng—seragam TNI. Ia masih menuntut agar pelaku diadili, meskipun dalam hatinya hal itu mustahil. “Maunya ayah dan adik saya kembali,” katanya.

KKR Aceh: Upaya Memulihkan Trauma

Empat hari setelah menemui Yulida dan Rajuli, tim kami bertandang ke kantor Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh di Banda Aceh. Oni Imelva, Wakil Ketua KKR, menjelaskan bahwa lembaga ini dibentuk sebagai amanat dari perjanjian damai GAM-Indonesia di Helsinki (2005). Tujuan utama KKR adalah mengungkap kebenaran pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dan membantu rekonsiliasi antara korban dan pelaku.

Dalam beberapa tahun terakhir, KKR telah mengumpulkan kesaksian dari 5.195 korban atau keluarganya di 17 kabupaten/kota di Aceh. Menurut Oni, 96% pelaku pelanggaran HAM adalah aparat keamanan Indonesia. Dari hasil temuan, KKR menyimpulkan empat jenis tindakan kekerasan, termasuk penyiksaan, pembunuhan tidak sah, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual.

Selain kerusakan fisik, korban mengalami gangguan jiwa, trauma sedang, hingga berat yang berkepanjangan. KKR juga menemukan kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Namun, hingga kini, pemerintah Aceh dan Jakarta belum sepenuhnya merespons rekomendasi KKR, termasuk pemulihan trauma individu dan kolektif.

Psikolog Klinis: Trauma Antargenerasi di Aceh

Yulia Direzkia, seorang psikolog klinis di RSUD Zainal Abidin, Banda Aceh, menyatakan bahwa Aceh memiliki trauma antar generasi yang sangat masif. Konflik yang berlangsung selama 30 tahun telah memengaruhi seluruh masyarakat Aceh, termasuk generasi yang tidak langsung terlibat dalam konflik. Trauma ini tidak hanya terjadi pada korban langsung, tetapi juga diwariskan dari orang tua ke anak dan cucu.

Menurut Yulia, trauma antar generasi terjadi ketika dampak emosional, mental, dan psikis dari peristiwa traumatis diwariskan dari orang tua ke anak, cucu, dan seterusnya. Ini terjadi karena semua masyarakat Aceh terdampak konflik, sehingga mereka semua mengalami trauma. “Semua terpapar,” ujarnya.

Yulia juga menyatakan bahwa hampir 80%-90% pasien di RSJ Aceh memiliki riwayat terlibat dalam konflik bersenjata. Meski mereka tidak ingin membicarakan pengalaman traumatis mereka, dampaknya tetap terasa dalam kehidupan sehari-hari. Trauma ini menyebabkan gangguan jiwa yang kompleks, baik secara klinis maupun sosial.

Yulia meminta pemerintah lebih menyadari dampak pengalaman trauma, terutama jika berlangsung lama seperti konflik di Aceh. Ia juga meminta pemerintah peduli terhadap korban atau keluarganya yang trauma akibat konflik. “Pemerintah harus memiliki perhatian lebih untuk masalah ini,” ujarnya.

Trauma yang terus-menerus berlangsung di Aceh dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia. Yulia menyarankan bahwa masalah berat harus diselesaikan lewat dialog, bukan kontak senjata, agar tidak menyebabkan dampak transgenerational trauma.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *