Hijrah Riba: Jalan Keluar dari Utang

Posted on

Seorang Pemimpin yang Menyerahkan Semua ke Allah

Hendra Firmansyah adalah sosok yang unik dan menarik. Ia adalah pemimpin dari sembilan perusahaan, tetapi tidak memiliki saham pribadi. Ia mengklaim bahwa pemegang saham tunggalnya adalah Allah. Ini mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, namun Hendra menjelaskan bahwa ia telah membuat pernyataan notariel yang menyatakan bahwa semua saham dalam perusahaannya milik Allah. Notaris pun setuju dengan hal ini.

Hendra lahir di Pontianak dan tumbuh besar di Jakarta. Ia pernah mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang dan Jerman. Selain itu, ia juga belajar ilmu logika di Beijing. Awalnya ia memulai usaha di Makassar, hingga akhirnya memiliki perusahaan eksporter lada hitam. Dalam sembilan bulan terakhir, ia kembali ke Pontianak agar bisa lebih dekat dengan orang tua yang sudah tua.

Pada tahun 2016, Hendra memutuskan untuk “hijrah”, meninggalkan segala sesuatu yang dilarang agama, termasuk yang berbau riba. Saat itu, ia masih aman secara finansial: tidak memiliki utang bank dan asetnya mencapai Rp 500 miliar. Namun, ia memilih untuk fokus pada persiapan “Hari Perhitungan” – apakah dosanya lebih besar daripada pahalanya. Akibatnya, ia jatuh miskin.

Anak-anaknya sudah berjumlah 10 orang, sebagian besar masih kecil. Hendra tidak lagi memiliki rumah dan hidup di rumah sewa atau masjid. Semua perusahaannya ia serahkan ke Allah. Meski begitu, ia tidak berhenti berusaha. Pelan-pelan, usahanya mulai bangkit kembali.

Ekspor lada kembali berjalan. Ia juga mendirikan lembaga bernama WGS (Win Global Solusitama) untuk mengelola semua hasil usahanya. Dividen dari usaha tersebut diserahkan ke WGS. Salah satu aktivitas utama lembaga ini adalah membantu melunasi utang tanpa bunga. Uang yang digunakan berasal dari kas WGS. Orang yang utangnya dilunasi harus tunduk pada aturan WGS, yaitu melunasinya tanpa bunga dan dididik agar bisa memiliki usaha sendiri.

Hendra juga sedang merancang konsep baru bersama travel umrah. Calon jamaah cukup membayar Rp 12 juta ke WGS. Setelah tujuh bulan, mereka akan diberangkatkan ke Makkah-Madinah. WGS akan membayar lunas ke perusahaan umrah. Uang tersebut digunakan untuk membeli mesin pomigor mini minyak goreng. Setiap bulan, laba satu pomigor mencapai Rp 4 juta. Dalam tujuh bulan, total laba mencapai Rp 28 juta. Sisa laba diputar kembali untuk berbagai usaha sosial.

Pomigor adalah mesin yang bentuknya mirip pompa bensin di SPBU. Satu mesin berisi 110 liter dan hanya bisa melayani satu pembelian satu liter. Jika ingin membeli lima liter, pengguna harus membawa jeriken sendiri atau lima kantong plastik. Harga mesin ini sudah ditetapkan. Jika operator membuat harga lebih tinggi, mesin otomatis tidak akan bekerja. Di Kubu Raya saja, WGS sudah memiliki 16 pomigor. Di seluruh Indonesia, jumlahnya mencapai ribuan.

Hendra tidak tahu siapa ayah dan ibunya. Sejak kecil, ia diasuh oleh kakeknya yang hidup sendiri. Ketika kakeknya meninggal saat Hendra berusia enam tahun, ia naik kapal kayu ke Jakarta. Di sana, ia dipungut oleh orang Depok yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Ia kemudian diberi kesempatan untuk pertukaran pelajar ke dua negara.

Baru belakangan, ketika Hendra mengajak anak-anaknya ke Taman Mini Indonesia Indah, ia bertemu dengan seseorang di anjungan Kalbar. Setelah saling kenalan, ternyata orang itu adalah pamannya sendiri. Dari situ, Hendra memutuskan untuk mencari ayahnya di Pontianak. Ayah dan ibunya masih sehat, walaupun sudah tua. Ia memutuskan pindah ke Pontianak. Anak-anaknya kini berjumlah 16 orang, yang tertua bekerja di Yamaha di Jepang.

Dari Pontianak, Hendra mengendalikan sembilan usaha atas nama pemegang saham tunggal. Meskipun ia lahir di Kalbar, darahnya Bugis. Di Kalbar banyak orang Bugis, dan istrinya juga Bugis, sehingga Hendra memulai usaha pertamanya di Makassar.

Hendra memutuskan untuk tidak memiliki rumah, mobil, atau aset pribadi. Ia selalu menyewa rumah dan mobil. Ia ingin hidup sangat sederhana dan tidak ingin mewariskan apa pun kepada anak-anaknya, kecuali ilmu pengetahuan.

Saat tiba di Surabaya, saya mengajak Hendra ke rumah untuk makan siang. Saya ingin mengenal lebih jauh tentang orang ini. Setelah makan, saya menawarkan Hendra untuk tidur di rumah saya. Keesokan harinya, kami akan meresmikan bangunan kampus dua Islamic International School.

Namun, kedatangan Hendra ke Surabaya sudah penuh agenda. Termasuk membicarakan konsep umrah Rp 12 juta dengan sebuah perusahaan umrah yang berpusat di Surabaya. Saya akan mencari kembali orang ini. Saya penasaran. “Rasanya konsep Anda ini terlalu bagus untuk benar-benar terjadi,” kata saya kepadanya. Saya juga menyentil soal umrah Rp 15 juta yang ternyata menyengsarakan banyak orang, bahkan membuat pemilik perusahaan umrahnya masuk penjara.

Hendra tahu semua itu. “Itu skema Ponzi,” katanya. “Sedangkan ide saya jelas, baru bisa berangkat tujuh bulan kemudian.” Saya iri dengan orang seperti Hendra: bisa hijrah begitu mudahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *