Kritik Menguat terhadap DPR, Publik Marah dengan Tunjangan Tinggi
Pada bulan Agustus 2025, media sosial di Indonesia dihebohkan oleh berbagai suara kritik terhadap lembaga legislatif. Isu seperti “Bubarkan DPR!” menjadi viral di berbagai platform, menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat di Senayan semakin memudar. Hal ini disebabkan oleh kekecewaan yang dirasakan oleh publik terhadap kinerja dan kebijakan DPR.
Kritik terhadap DPR bukanlah hal baru. Sebelumnya, isu tentang gaji dan tunjangan besar anggota dewan telah memicu perdebatan. Namun, kontroversi tersebut kembali menghangat setelah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir memberikan pernyataan yang salah mengenai kenaikan tunjangan para legislator. Pernyataannya menyebutkan bahwa tunjangan beras mencapai Rp 10 juta dan naik menjadi Rp 12 juta per bulan, serta tunjangan bensin meningkat dari Rp 3 juta menjadi Rp 7 juta. Perkiraan jumlah yang sangat tinggi ini langsung memicu kemarahan publik.
Esok harinya, Adies segera mengklarifikasi pernyataannya. Ia mengaku kesalahan dalam menyampaikan data. Menurutnya, tunjangan beras hanya sebesar Rp 200.000 per bulan dan tidak berubah sejak 2010. Tunjangan bensin juga tetap sebesar Rp 3 juta. Gaji pokok anggota DPR pun sekitar Rp 6,5 juta per bulan dan tidak naik selama 15 tahun terakhir. Meski begitu, penjelasan ini tidak sepenuhnya meredakan kemarahan publik.
Adies juga tidak menyangkal bahwa anggota DPR kini mendapat tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang tidak lagi tersedia. Hal ini memicu kritik lebih lanjut, terutama setelah Nafa Urbach, anggota DPR dari Fraksi NasDem, menyampaikan dukungan terhadap tunjangan tersebut. Ia menjelaskan bahwa anggota DPR berasal dari berbagai daerah dan harus menyewa rumah dekat Senayan untuk memudahkan akses. Pernyataan Nafa justru memicu kritik keras dari publik, sehingga ia akhirnya meminta maaf.
Tidak hanya itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Syahroni juga menuai sorotan setelah menyampaikan pernyataan pedas terhadap publik yang mengkritik DPR. Ia menyebut orang yang mengajukan seruan “Bubarkan DPR” sebagai orang tolol. Ucapan ini memperkeruh suasana dan memicu gelombang kecaman dari masyarakat.
Selain itu, Eko Patrio, anggota DPR sekaligus mantan komedian, juga turut memancing kritik dengan mengunggah parodi sebagai operator Sound Horeg. Video tersebut dianggap menantang rakyat yang sedang mengkritik DPR. Meski akhirnya Eko meminta maaf, banyak warganet menilai sikapnya tidak sesuai dengan empati yang diharapkan.
Puncak kekecewaan publik terjadi pada Senin (25/8/2025), saat ribuan demonstran memenuhi kawasan Senayan. Poster-poster tuntutan seperti “DPR: Dewan Pembeban Rakyat”, “Bubarkan DPR”, dan lainnya dibentangkan. Aksi ini awalnya damai, namun berujung ricuh setelah aparat menggunakan tindakan represif seperti menyemprotkan air dan menembakkan gas air mata. Akibatnya, fasilitas umum rusak, motor dibakar, dan pos polisi menjadi sasaran amukan massa.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa sikap anggota DPR yang menyetujui tunjangan perumahan menunjukkan bahwa mereka kehilangan sense of crisis. Ia menyoroti bahwa besarnya tunjangan tidak sebanding dengan kinerja DPR. Dari 42 RUU prioritas tahun 2025, DPR hanya mengesahkan satu RUU, yaitu revisi UU TNI. Sementara itu, 13 RUU lain yang disahkan berasal dari daftar kumulatif terbuka, seperti RUU pembentukan provinsi atau kabupaten/kota, serta RUU BUMN dan RUU Minerba.
Lucius menegaskan bahwa dengan tunjangan besar yang diterima, DPR seharusnya bekerja maksimal demi rakyat. Sayangnya, tunjangan tersebut justru memanjakan anggota DPR dan membuat kinerja mereka kurang optimal.


