Dampak Langkah Pemerintah dalam Memerangi Beras Oplosan di Kabupaten Kediri
Di tengah upaya pemerintah untuk memerangi beras oplosan, para pedagang beras di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mulai merasakan dampaknya. Salah satu efek yang terlihat adalah penurunan signifikan dalam penjualan beras premium kemasan 5 kilogram di pasar-pasar tradisional.
Pasar Pamenang Pare, salah satu pasar tradisional yang menjadi tempat belanja utama warga Kecamatan Pare dan sekitarnya, juga mengalami perubahan. Di sana, berbagai jenis beras, termasuk beras premium, biasanya tersedia dalam jumlah cukup banyak. Namun, kini permintaan beras premium mengalami penurunan tajam.
Suhermin, salah satu pedagang beras di Pasar Pamenang Pare, menjelaskan bahwa beberapa pabrik beras sudah berhenti memproduksi beras premium sejak dua pekan terakhir. Alasan utamanya adalah harga gabah yang tinggi, sehingga biaya produksi tidak sebanding dengan harga jual yang ditetapkan pemerintah.
“Kalau gabah medium saja sudah Rp12.500 per kilogram, mungkin pabrik tidak akan bertahan jika dijual sesuai HET. Akhirnya mereka menghentikan produksi sementara,” ujarnya saat ditemui oleh wartawan.
Menurut Suhermin, merek-merek lokal Kediri seperti Lele, Lahap, dan beberapa merek lain sudah tidak lagi memproduksi beras kemasan 5 kilogram. Saat ini, hanya kemasan 25 kilogram yang masih tersedia, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Selain itu, beberapa merek nasional seperti Sania, Sovia, Fortune, Topi Koki, Setra Ramos, hingga Larisst juga semakin sulit ditemukan.
Akibatnya, banyak pembeli kecewa karena beras premium yang biasa mereka beli tidak tersedia. Suhermin menjelaskan bahwa ia membeli beras lokal dengan harga Rp13.100 per kilogram dari pemasok, lalu menjualnya dengan selisih Rp200 per kilogram.
Beras lokal dari penggilingan desa kini menjadi pilihan utama pembeli, meskipun ada kendala kualitas. “Beras lokal ini tidak oplosan, tapi biasanya ada kerikil atau kulit gabah, kurang bersih seperti premium sehingga rumah makan enggan memakainya,” katanya.
Selain itu, stok beras premium yang biasanya ia ambil hingga 15 ton per pengiriman kini turun drastis. Permintaan tetap tinggi, tetapi suplai dari pabrik semakin berkurang. “Kalau ada, yang banyak diminati itu Lele lokal dan Lahap premium. Kalau habis, terpaksa tawarkan merek lain,” ujarnya.
Meski mengalami dampak negatif, Suhermin tetap berharap pemerintah dan pemasok bisa segera menemukan solusi agar pasokan stabil kembali. “Kalau premium juga dijual premium kalau medium itu juga dijual medium. Nah nanti juga untuk harganya juga disesuaikan dengan harga yang di pasaran,” harapnya.
Upaya Pemerintah dalam Menjaga Stabilitas Pasokan Beras
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Kediri, Tutik Purwaningsih, menegaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan langkah intervensi untuk menjaga stabilitas pasokan beras. Salah satunya adalah menggelar Gerakan Pangan Murah (GPM) di 26 kecamatan mulai Agustus hingga Desember 2025, bekerja sama dengan Bulog untuk menyalurkan beras SPHP seharga Rp60.000 per kemasan 5 kilogram.
“Lokasi GPM akan difokuskan di wilayah rawan pangan dan daerah yang mengalami gejolak harga. Kalau di sana sedang panen, kita tidak intervensi,” kata Tutik.
Dia memastikan bahwa hingga saat ini, tidak ditemukan beras oplosan di Kabupaten Kediri. Namun, Satgas Pangan tetap menemukan pelanggaran lain, seperti penjualan beras medium di atas harga eceran tertinggi (HET) dan masalah labelisasi produk.
“Kalau kemasan tertulis premium atau super, kualitasnya harus benar-benar sesuai. Kesalahan labelisasi bisa merugikan masyarakat,” tegasnya.
Beberapa bulan lalu, Satgas Pangan yang terdiri dari Bulog, TNI, Polri, dan dinas terkait melakukan inspeksi ke sejumlah produsen beras seperti UD Sinar Tani di Kunjang, CV Sumber Pangan di Pagu, produsen di Gampengrejo, hingga swalayan besar. Hasilnya, ditemukan kemasan beras yang tidak mencantumkan informasi sesuai ketentuan dan berat bersih tidak sesuai.
“Kalau nanti ditemukan ada praktik pengoplosan, kami tak segan mencabut izin edar produsen tersebut,” pungkas Tutik.


