Sejarah yang Tak Pernah Diangkat oleh Manajer Inggris
Liga Primer, sejak dibentuk pada tahun 1992, telah menjadi panggung bagi para manajer terhebat di dunia. Mereka datang dari berbagai negara, membawa inovasi taktik, metode latihan, dan filosofi yang merevolusi permainan. Sir Alex Ferguson dari Skotlandia membangun dinasti, Arsene Wenger dari Prancis mengubah kultur, dan Jose Mourinho dari Portugal membawa mentalitas juara yang tak tertandingi.
Daftar negara asal manajer juara terus bertambah: Italia melalui Carlo Ancelotti, Roberto Mancini, dan Antonio Conte; Cile lewat Manuel Pellegrini; Jerman diwakili oleh Jurgen Klopp; dan Spanyol oleh Pep Guardiola. Keragaman ini menjadi bukti daya tarik global dan tingkat persaingan tertinggi di liga ini. Namun, di tengah gemerlap talenta manajerial dari seluruh dunia, ada satu anomali yang mencolok.
Keanehan tersebut adalah kekosongan nama manajer asal Inggris di daftar juara. Selama lebih dari tiga dekade, trofi paling bergengsi di tanah Inggris belum pernah sekalipun diangkat oleh seorang manajer Inggris. Ini adalah sebuah ironi yang menyakitkan bagi negara yang mengklaim sebagai rumah dari sepakbola modern. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang pengembangan pelatih, struktur kepemilikan klub, hingga tekanan media.
Dari momen “nyaris juara” yang tragis pada era 90-an hingga munculnya generasi baru manajer modern yang menjanjikan, ada banyak faktor kompleks yang menyebabkan kekosongan ini. Apakah ini karena kurangnya kualitas, kesempatan yang minim di klub-klub elite, atau sistem yang secara inheren lebih menyukai nama-nama besar dari luar negeri?
Hampir Juara
Sejarah Liga Primer bukannya tanpa pahlawan Inggris. Pada musim perdananya, 1992/93, Ron Atkinson membawa Aston Villa menjadi penantang serius. Dengan skuad yang dimotori oleh Dean Saunders dan Dalian Atkinson, Villa memimpin klasemen hingga paruh kedua musim. Namun, badai cedera yang menimpa pemain kunci dan kekalahan krusial 1-0 dari sang rival, Manchester United, di akhir musim membuat mereka harus puas finis sebagai runner-up dengan selisih 10 poin. Momen itu menjadi penanda awal dari tren “nyaris” bagi para manajer Inggris.
Momen paling ikonik dan menyakitkan terjadi pada musim 1995/96. Kevin Keegan dengan Newcastle United-nya yang berjuluk “The Entertainers” bermain sepakbola menyerang yang memukau dan berhasil membangun keunggulan 12 poin di puncak klasemen pada Januari. Tim yang diperkuat oleh Les Ferdinand dan David Ginola tampak tak terhentikan. Namun, serangkaian hasil buruk di musim semi, ditambah dengan perang urat syaraf legendaris dari Sir Alex Ferguson, membuat keunggulan mereka terkikis. Kekalahan dramatis 4-3 dari Liverpool dalam salah satu laga terhebat Liga Primer menjadi simbol keruntuhan mereka. Puncaknya adalah ledakan emosi Keegan dalam wawancara “I will love it if we beat them!” yang terkenal itu, yang dianggap sebagai tanda bahwa tekanan telah berhasil meruntuhkannya. Newcastle akhirnya finis di posisi kedua, empat poin di belakang Manchester United, menciptakan narasi kegagalan heroik yang hingga kini masih terus dikenang sebagai momen paling dekat seorang manajer Inggris dengan gelar juara.
Sejak saat itu, tidak ada lagi manajer Inggris yang benar-benar bisa berada dalam persaingan gelar hingga akhir musim dengan cara yang sama. Para penerus seperti Sir Bobby Robson sempat membawa Newcastle ke papan atas, namun tidak pernah sedekat Keegan. Momen-momen ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada ketiadaan talenta, melainkan kegagalan dalam melewati rintangan terakhir yang krusial, baik dari sisi taktikal, mental, maupun tekanan.
Revolusi Asing
Kedatangan Arsene Wenger di Arsenal pada 1996 menjadi titik balik. Ia bukan sekadar manajer, melainkan seorang revolusioner. Wenger memperkenalkan metode yang benar-benar asing bagi kultur sepakbola Inggris saat itu. Ia mengubah total diet para pemain, melarang alkohol dan makanan cepat saji, lalu menggantinya dengan protein tanpa lemak, pasta, dan sayuran kukus. Ia juga membawa ilmu olahraga ke level berikutnya, dengan fokus pada peregangan, suplemen vitamin, dan analisis data performa yang mendalam.
Di atas lapangan, Wenger mengimpor talenta-talenta dari pasar yang sebelumnya kurang dieksplorasi oleh klub Inggris, seperti Patrick Vieira dan Thierry Henry dari Prancis. Ia membangun tim yang tidak hanya kuat, tetapi juga memiliki teknik dan kecepatan superior, yang berpuncak pada musim “The Invincibles” 2003/04. Kedatangannya secara efektif menaikkan standar profesionalisme dan membuktikan bahwa pendekatan ilmiah dan skema rekrutmen global adalah kunci untuk meraih sukses di era modern.
Jika Wenger adalah sang profesor, maka kedatangan Jose Mourinho di Chelsea pada 2004 adalah sang jenderal perang. Mourinho membawa disiplin taktis yang kejam dan mentalitas “menang dengan segala cara”. Ia memperkenalkan formasi 4-3-3 dengan seorang gelandang bertahan (Claude Makelele) yang menjadi perisai pertahanan, memungkinkan timnya menjadi sangat solid. Pada musim perdananya, Chelsea hanya kebobolan 15 gol, sebuah rekor yang masih bertahan hingga kini. Mourinho juga ahli dalam “tactical periodization”, sebuah metode latihan di mana semua sesi dirancang dengan bola untuk menyimulasikan situasi pertandingan. Ia menciptakan tim yang terorganisir sempurna, pragmatis, dan sangat sulit dikalahkan. Lebih dari itu, ia adalah seorang master dalam perang psikologis, mampu memanipulasi media dan menciptakan narasi “kami melawan dunia” yang membuat skuadnya semakin solid. Kombinasi dari revolusi ilmiah Wenger dan pragmatisme taktis Mourinho secara drastis menaikkan level persaingan, meninggalkan banyak manajer tradisional Inggris tertinggal.
Krisis Lencana Pelatih
Salah satu akar masalah terletak pada sistem pengembangan pelatih di Inggris. Selama bertahun-tahun, jalur untuk mendapatkan lisensi kepelatihan elite dari FA (Federasi sepakbola Inggris), seperti UEFA Pro Licence, dikenal sangat mahal dan eksklusif. Biaya yang tinggi dan proses yang panjang menjadi penghalang signifikan bagi banyak mantan pemain atau calon pelatih berbakat untuk meniti karier, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya.
Sebagai perbandingan, Jerman melakukan reformasi total pada sistem kepelatihannya setelah kegagalan di Euro 2000 dalam program yang dikenal sebagai “Das Reboot”. Mereka membuat lisensi kepelatihan menjadi jauh lebih terjangkau dan mudah diakses, serta menyebarkan pusat-pusat pelatihan di seluruh negeri. Hasilnya, Jerman menghasilkan surplus pelatih berkualitas tinggi. Data menunjukkan Jerman memiliki ribuan pemegang Lisensi A UEFA, jauh lebih banyak dibandingkan Inggris, menciptakan kumpulan talenta manajerial yang jauh lebih dalam.
Spanyol juga menunjukkan model serupa. Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) sangat menekankan filosofi permainan berbasis penguasaan bola dan teknik sejak level paling dasar. Mereka menghasilkan pelatih yang memiliki identitas taktis yang jelas. Hal ini menciptakan jalur yang mulus dari melatih tim junior hingga ke level profesional. Pelatih seperti Pep Guardiola adalah produk dari sistem yang menanamkan filosofi klub dan negara sejak awal kariernya.
Meski Inggris telah berinvestasi besar dengan membangun St. George’s Park sebagai pusat pelatihan nasional yang canggih, dampaknya dirasa masih tertinggal. Kesenjangan dalam jumlah pelatih berkualitas tinggi yang dihasilkan selama dua dekade terakhir berarti klub-klub top Liga Primer memiliki pilihan yang lebih sedikit dari talenta domestik. Mereka akhirnya lebih sering melihat ke luar negeri di mana terdapat pasokan manajer yang lebih melimpah dengan rekam jejak yang terbukti.
Era Pemilik Asing
Masuknya Roman Abramovich yang membeli Chelsea pada 2003 menjadi penanda dimulainya era baru kepemilikan di Liga Primer. Pemilik asing dengan kekayaan masif ini tidak hanya membawa suntikan dana tak terbatas, tetapi juga tuntutan untuk meraih kesuksesan instan. Model bisnis mereka adalah membangun merek global, dan cara tercepat untuk melakukannya adalah dengan merekrut pemain bintang dan, yang terpenting, manajer bintang dengan reputasi internasional.
Setelah pengambilalihan, Chelsea langsung menunjuk Claudio Ranieri lalu menggantinya dengan Jose Mourinho, seorang pemenang Liga Champions. Hal yang sama terjadi di Manchester City setelah diakuisisi oleh Abu Dhabi United Group pada 2008. Manajer Inggris seperti Mark Hughes digantikan oleh Roberto Mancini, lalu Manuel Pellegrini, dan puncaknya Pep Guardiola. Pola ini jelas: pemilik asing cenderung tidak sabar dan kurang tertarik pada proyek jangka panjang yang dipimpin oleh manajer lokal yang sedang berkembang. Mereka lebih memilih nama besar yang sudah terjamin.
Preferensi ini bukan hanya soal reputasi, tetapi juga tentang manajemen risiko. Bagi seorang pemilik yang telah menginvestasikan ratusan juta poundsterling, menunjuk manajer seperti Pep atau Klopp dianggap sebagai taruhan yang lebih aman daripada memberikan kesempatan kepada Eddie Howe atau Graham Potter di level klub elite. Manajer asing yang sukses di liga lain dianggap lebih mampu menangani ego pemain bintang dari berbagai negara dan tekanan di kompetisi Eropa.
Struktur klub juga berubah. Banyak pemilik asing membawa model “Direktur Olahraga” yang lazim di Eropa. Peran ini sering kali diisi oleh individu dari jaringan internasional mereka, yang pada gilirannya cenderung merekomendasikan pelatih dari jaringan yang sama. Hal ini menciptakan siklus di mana kesempatan bagi manajer Inggris di enam klub teratas menjadi sangat terbatas, karena mereka berada di luar ekosistem pengambilan keputusan yang semakin mengglobal ini.
Sorotan Media Yang Menyilaukan
Tidak dapat dipungkiri, media Inggris memiliki peran dalam membentuk narasi seputar manajer. Ada argumen kuat yang menyatakan bahwa manajer domestik menghadapi tingkat pengawasan dan tekanan yang jauh lebih intens dan personal dibandingkan rekan-rekan asing mereka. Setiap kesalahan kecil dari manajer Inggris sering kali dibingkai sebagai bukti fundamental dari kekurangan kualitas mereka, sementara manajer asing mungkin mendapatkan lebih banyak kelonggaran sebagai bagian dari proses adaptasi.
Kasus Sam Allardyce adalah contoh sempurna. Ketika ditunjuk sebagai manajer timnas Inggris, ia langsung menjadi target investigasi media yang membuatnya kehilangan pekerjaan hanya dalam 67 hari. Sementara itu, manajer asing di level klub yang menghadapi kontroversi mungkin tidak menerima sorotan seekstrem itu. Demikian pula dengan Gareth Southgate, yang meski berhasil membawa Inggris ke final Euro dan semi-final Piala Dunia, terus-menerus dikritik karena gaya bermainnya yang dianggap pragmatis.
Sebutan ikonik seperti “Wally with the Brolly” yang disematkan kepada Steve McClaren setelah gagal membawa Inggris ke Euro 2008 menunjukkan betapa cepatnya media menciptakan karikatur yang merusak reputasi seorang manajer Inggris. Tekanan untuk tidak hanya menang, tetapi juga menang dengan gaya tertentu, tampaknya lebih berat bagi manajer lokal. Ekspektasi publik yang dipicu oleh media menciptakan lingkungan kerja yang sangat tidak stabil.
Di sisi lain, manajer asing sering kali datang dengan aura misteri dan kecanggihan. Aksen asing dan ide-ide taktis baru dapat memberikan mereka “masa bulan madu” yang lebih lama dengan pers. Kegagalan awal mereka mungkin dimaafkan sebagai bagian dari penyesuaian budaya atau taktik. Sebaliknya, manajer Inggris tidak memiliki kemewahan itu; mereka dinilai dengan standar yang lebih keras dan lebih cepat sejak hari pertama, membuat tugas berat untuk membangun dinasti juara menjadi semakin sulit.
Generasi Baru
Meski sejarahnya suram, secercah harapan kini muncul dari generasi baru manajer Inggris yang membawa ide-ide segar dan modern. Eddie Howe adalah contoh utamanya. Ia membangun reputasinya di Bournemouth dengan membawa klub dari kasta keempat ke Liga Primer sambil menerapkan filosofi sepakbola menyerang yang berani, berbasis pressing tinggi, dan penguasaan bola. Metode latihannya yang mendetail dan kemampuannya untuk mengembangkan pemain telah diakui secara luas.
Kini di Newcastle United, dengan dukungan finansial yang kuat, Howe telah membuktikan bahwa metodenya dapat diterapkan di level yang lebih tinggi. Ia berhasil membawa Newcastle ke Liga Champions dan menanamkan identitas permainan yang jelas. Howe mewakili manajer Inggris modern yang tidak lagi terpaku pada gaya “kick-and-rush” tradisional, melainkan seorang ahli taktik yang cermat dan inovatif, yang belajar banyak dari tren sepakbola kontinental.
Graham Potter adalah nama lain yang menonjol dari generasi ini. Di Brighton, ia dipuji karena menerapkan gaya permainan berbasis penguasaan bola yang sangat kompleks dan fleksibel secara taktis. Ia tidak takut untuk mengubah formasi di tengah pertandingan dan membangun tim yang mampu mendominasi penguasaan bola melawan tim-tim papan atas. Filosofinya yang berani membuatnya mendapatkan kesempatan besar untuk melatih Chelsea, sebuah langkah yang jarang terjadi bagi manajer Inggris.
Meskipun masa jabatannya di Chelsea tidak berhasil, pengalaman tersebut sangat berharga. Kegagalannya menyoroti tantangan besar dalam mengelola ego pemain bintang dan tekanan di klub super elite, sebuah rintangan yang harus diatasi oleh manajer Inggris mana pun yang ingin mencapai puncak. Baik Howe maupun Potter, bersama dengan talenta lainnya, menunjukkan bahwa kualitas taktis kini ada, dan tantangan berikutnya adalah menerobos “langit-langit kaca” di klub-klub terbesar.
Jalan Menuju Kejayaan
Untuk mematahkan kutukan ini, diperlukan perubahan fundamental di berbagai level. Langkah pertama dan terpenting adalah reformasi berkelanjutan pada sistem pengembangan pelatih FA. Biaya untuk mendapatkan lisensi elite harus diturunkan secara drastis dan aksesnya diperluas untuk menciptakan kumpulan talenta yang lebih besar dan beragam, meniru kesuksesan model Jerman. Filosofi yang diajarkan juga harus terus berevolusi, merangkul inovasi taktis global.
Kedua, calon manajer Inggris yang ambisius mungkin perlu lebih berani mengambil jalan yang tidak konvensional dengan mencari pengalaman di luar negeri. Bekerja di liga-liga Eropa lainnya akan membebaskan mereka dari sorotan media domestik yang intens, memungkinkan mereka untuk berkembang, mempelajari bahasa baru, dan menyerap ide-ide taktis yang berbeda. Pengalaman internasional ini akan membuat profil mereka lebih menarik bagi pemilik klub Liga Primer yang berorientasi global.
Di level klub, pemilik dan dewan direksi perlu menunjukkan lebih banyak kesabaran dan kemauan untuk berinvestasi dalam proyek jangka panjang yang dipimpin oleh manajer Inggris. Alih-alih selalu mencari solusi cepat dengan nama besar dari luar, memberikan kepercayaan kepada seorang manajer seperti Howe atau Potter dengan dukungan penuh selama beberapa musim bisa menjadi kunci untuk membangun fondasi kesuksesan yang berkelanjutan. Ini membutuhkan perubahan dari mentalitas “sukses instan” menjadi “pertumbuhan strategis”.
Pada akhirnya, kombinasi dari pelatih yang lebih berkualitas dan terdidik secara global, klub yang lebih sabar, dan mungkin sedikit pergeseran dalam narasi media akan membuka jalan. Kutukan ini tidak akan bertahan selamanya. Dengan munculnya generasi taktis baru yang menjanjikan dan kesadaran yang meningkat tentang isu-isu struktural, pertanyaan yang ada bukanlah “jika” seorang manajer Inggris akan memenangkan Liga Primer, tetapi “kapan” dan “siapa” yang akhirnya akan mengangkat trofi itu.


