Aturan Royalti Musik Ramai Diperbincangkan, Pengusaha Mall Solo Klaim Sudah Tertib Bayar: Termasuk Band Cover

Posted on

Penjelasan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait Royalti Musik

Royalti musik kini menjadi topik yang ramai dibicarakan di berbagai kalangan masyarakat, termasuk para pemilik usaha seperti restoran, kafe, dan pusat perbelanjaan. Aturan ini diterapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memainkan peran penting dalam pengelolaan royalti musik di Indonesia. LMKN adalah lembaga non-profit yang dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang tersebut. Tujuan utamanya adalah menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta, pemilik hak terkait, dan pemegang hak cipta atas lagu dan/atau musik yang digunakan secara komersial di tempat umum.

Peran LMKN dalam Sistem Royalti Musik

LMKN bekerja sama dengan berbagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang mewakili para pencipta lagu, komposer, pemusik, dan produser. Beberapa contoh LMK yang cukup dikenal antara lain WAMI dan KCI. LMKN bertindak sebagai badan koordinasi nasional yang mengelola sistem perizinan dan penarikan royalti secara terpusat.

Salah satu tugas utama LMKN adalah menetapkan tarif royalti berdasarkan jenis penggunaan musik. Tarif ini disesuaikan dengan skala usaha, kapasitas tempat, serta intensitas pemutaran musik. Dana yang diperoleh dari royalti kemudian didistribusikan kepada para pencipta atau pemilik hak melalui LMK, sesuai dengan data penggunaan dan laporan pertanggungjawaban yang diaudit.

Tarif Royalti untuk Tempat Usaha

Untuk tempat usaha seperti kafe dan restoran, LMKN menjelaskan bahwa tarif royalti musik dikenakan sebesar Rp120.000 per kursi per tahun. Namun, perhitungan tidak dilakukan berdasarkan total kursi yang tersedia, melainkan berdasarkan jumlah rata-rata kursi yang digunakan pengunjung setiap hari.

Royalti tersebut kemudian dibagi kepada tiga pihak: Rp60.000 untuk pencipta lagu, Rp30.000 untuk pelaku pertunjukan, dan Rp30.000 untuk produser pemegang hak rekaman. LMKN juga menegaskan bahwa kewajiban membayar royalti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik usaha. Penyanyi atau band yang tampil live di kafe tidak dikenakan kewajiban membayar royalti karena mereka hanyalah pelaku pertunjukan, bukan pengguna karya dalam konteks usaha.

Tanggapan dari Mall Solo Paragon

Pihak Mall Solo Paragon telah menjalin kerja sama dengan LMKN sejak awal operasional. Mereka secara rutin membayar royalti musik yang diputar di area mall kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Selain itu, lisensi royalti juga mencakup tenant yang bekerja sama dengan mall serta band yang melakukan pertunjukan sebagai hiburan di kawasan mall.

Deputi Direktur Operasional Mal Solo Paragon, Veronica Lahji, menyatakan bahwa pihak mall tidak mempermasalahkan penerapan aturan royalti musik tersebut. Ia menekankan bahwa mall sudah mengurus izin tersebut sejak awal operasional. Dengan adanya sertifikat lisensi, mall dapat memastikan bahwa semua kegiatan musik di dalamnya sesuai dengan aturan yang berlaku.

Dampak dan Sanksi bagi Pelaku Usaha

Bagi pelaku usaha yang tidak membayar royalti, ada konsekuensi yang bisa diberikan. Sanksi bisa berupa peringatan, denda administratif, hingga gugatan hukum oleh pencipta lagu atau pemegang hak cipta. Dalam beberapa kasus, denda bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Dengan adanya aturan ini, diharapkan para pemilik usaha lebih memahami pentingnya pembayaran royalti musik sebagai bentuk penghargaan terhadap karya seni dan hak cipta para pencipta. Hal ini juga akan memberikan perlindungan hukum bagi para pemilik hak cipta dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga hak intelektual.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *