Pentingnya Kegiatan Literasi dalam Pendidikan
Kegiatan literasi membaca memainkan peran penting dalam pengembangan potensi intelektual dan emosional siswa. Di banyak sekolah, kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap hari sebagai bentuk pembiasaan yang bertujuan meningkatkan minat baca serta memperluas wawasan siswa-siswi. Membaca buku bukan hanya sekadar hobi atau pengisi waktu luang, tetapi juga proses internalisasi pengetahuan yang berdampak langsung pada kemampuan berpikir kritis dan reflektif.
Melalui kegiatan membaca, siswa tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga diajak memahami, menganalisis, bahkan mengevaluasi realitas sosial yang mereka hadapi. Aktivitas membaca secara teratur memberi dampak jangka panjang terhadap cara berpikir dan kualitas kepribadian siswa. Melalui teks yang mereka baca, baik fiksi maupun nonfiksi, siswa belajar mengenali berbagai sudut pandang, memahami nilai-nilai, serta menggali makna dari pengalaman hidup orang lain.
Pandangan Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed (1970) menyatakan bahwa: “Literacy is not about memorizing sentences, words, or syllables, but rather about perceiving the meaning of a text.” Freire menekankan bahwa literasi adalah bentuk kesadaran kritis terhadap dunia, bukan sekadar kemampuan teknis membaca kata demi kata. Kegiatan literasi yang dilakukan setiap hari di sekolah bukan hanya sekadar rutinitas administratif, tetapi menjadi jembatan untuk memperkuat karakter siswa.
Dalam setiap halaman buku, terdapat nilai-nilai moral, kebijaksanaan hidup, dan pengetahuan yang tidak bisa diajarkan secara langsung di kelas. Kegiatan ini memungkinkan siswa mengembangkan empati, mengenali diri mereka sendiri, serta menemukan arah berpikir yang lebih terbuka dan inklusif. Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis, mengungkapkan: “Reading is the act of experiencing another person’s unconscious.” Membaca membuka gerbang bawah sadar siswa terhadap realitas yang lebih luas dan kompleks dari apa yang mereka alami sehari-hari.
Dampak Literasi pada Kemampuan Linguistik
Dampak literasi juga terlihat pada kemampuan linguistik siswa. Mereka yang terbiasa membaca memiliki kosakata yang lebih kaya, struktur kalimat yang lebih teratur, dan kemampuan menulis yang lebih terarah. Selain itu, kegiatan membaca merangsang fungsi kognitif otak untuk berpikir secara sistematis dan logis. Francis Bacon, seorang filsuf Inggris, mengatakan: “Reading maketh a full man; conference a ready man; and writing an exact man.” Artinya, membaca membentuk seseorang secara utuh dalam hal pengetahuan dan pemikiran.
Sayangnya, tidak semua sekolah dan siswa dapat menjalankan kegiatan literasi ini dengan optimal. Di beberapa tempat, kegiatan ini hanya menjadi formalitas tanpa makna mendalam. Buku yang dibaca tidak sesuai dengan minat dan usia siswa, serta tidak diikuti dengan proses refleksi atau diskusi yang membangun. Literasi yang seharusnya bersifat transformatif justru menjadi beban yang dilaksanakan setengah hati.
Menurut Freire, ini adalah bentuk dari pendidikan “gaya bank”, di mana siswa hanya menjadi tempat menabung informasi tanpa memahami maknanya. Untuk menghindari hal tersebut, kegiatan literasi harus dirancang dengan pendekatan yang partisipatif dan menyenangkan. Guru harus berperan sebagai fasilitator aktif, bukan sekadar pengawas. Buku-buku yang tersedia pun harus beragam dan relevan dengan konteks sosial budaya siswa.
Peran Interaksi Sosial dalam Literasi
Selain itu, penting untuk mendorong siswa menulis resensi, berdiskusi dalam kelompok, atau membuat jurnal reflektif atas apa yang mereka baca. Menurut Vygotsky, perkembangan kognitif anak sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, termasuk melalui bahasa. Maka, literasi harus menjadi ruang interaksi dan pertukaran ide, bukan sekadar aktivitas individual.
Dukungan dari berbagai pihak juga menjadi kunci keberhasilan kegiatan literasi. Sekolah perlu menjalin kerja sama dengan perpustakaan daerah, komunitas literasi, dan melibatkan orang tua dalam membangun budaya membaca di rumah. Masyarakat yang literat akan melahirkan generasi yang sadar akan pentingnya berpikir kritis, toleran, dan terbuka terhadap perubahan.
Pernyataan Albert Einstein: “The only thing that you absolutely have to know, is the location of the library.” Sebab, perpustakaan dan akses terhadap bacaan adalah sumber utama kebangkitan intelektual.
Membaca sebagai Gerakan Budaya
Di tengah tantangan era digital dan banjir informasi, kegiatan literasi membaca di sekolah harus tetap dijaga dan diperkuat. Literasi bukan sekadar keterampilan, melainkan kebutuhan dasar untuk bertahan dan berkembang dalam kehidupan modern. Melalui literasi, siswa-siswi tidak hanya belajar tentang dunia, tetapi juga belajar memahami diri sendiri dan masyarakat sekitarnya. Mereka tumbuh menjadi individu yang bijak, mandiri, dan siap menghadapi tantangan zaman.
Dengan demikian, kegiatan literasi membaca bukan hanya rutinitas pendidikan, melainkan sebuah gerakan budaya yang membawa misi besar: mencerdaskan kehidupan bangsa. Membaca adalah hak setiap anak, dan sekolah berkewajiban menjadikannya sebagai tradisi harian yang penuh makna.
Seperti yang diungkapkan oleh Kofi Annan, mantan Sekjen PBB: “Literacy is a bridge from misery to hope.” Melalui membaca, siswa tidak hanya melihat dunia, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik.


