Makna Slow Living di Tengah Tekanan Hidup Modern

Posted on

Mengapa Banyak Mahasiswa Merasa Tertinggal

Pernahkah kalian merasa tertinggal dari teman-teman kalian? Mereka aktif dalam organisasi, mengikuti magang di berbagai tempat, terlibat dalam program pertukaran pelajar, atau terus-menerus memperoleh prestasi setiap semester. Sementara itu, kita seringkali hanya bisa melihat dari pinggir. Rasanya seperti berjalan di tempat sementara yang lain berlari dengan cepat.

Bagi sebagian mahasiswa, tekanan semacam ini sangat nyata. Terkadang muncul rasa bersalah, seolah-olah hidup kita “kurang cepat”, kurang produktif, dan kurang bersinar. Namun, di tengah budaya kerja yang semakin intens, muncul sebuah gaya hidup yang mulai menarik perhatian, yaitu slow living.

Apa Itu Slow Living?

Slow living bukan berarti hidup tanpa tujuan atau malas-malasan. Sebaliknya, gaya hidup ini mengajak kita untuk memperlambat ritme kehidupan, fokus pada hal-hal penting, dan menikmati proses tanpa merasa harus terus-menerus mencari validasi.

Tren ini tumbuh sebagai respons terhadap budaya kerja dan belajar yang semakin cepat, keras, dan melelahkan. Bagi sebagian anak muda, termasuk para mahasiswa, slow living menjadi cara untuk tetap waras dan lebih mengenal diri sendiri.

Menurut studi dari Harvard Business Review (2022), lebih dari 47 persen profesional muda di dunia merasa kelelahan karena tekanan sosial untuk “selalu produktif”. Banyak dari mereka mulai mencari keseimbangan hidup, termasuk dengan mempraktikkan gaya hidup seperti slow living, mindfulness, dan digital detox.

Manfaat dari Menerapkan Slow Living

Hidup yang lebih pelan memiliki banyak sisi positif. Kesehatan mental lebih terjaga karena kita tidak terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain. Kita juga bisa lebih sadar atas pilihan-pilihan hidup, bukan hanya mengikuti arus atau tekanan sosial.

Laporan dari World Health Organization (WHO) tahun 2023 menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dan depresi meningkat sebesar 25 persen sejak pandemi, terutama di kalangan anak muda. Perlambatan ritme hidup yang diiringi praktik slow living terbukti bisa menurunkan stres dan meningkatkan kebahagiaan harian.

Dengan ritme yang lebih tenang, kita juga jadi lebih bisa mengevaluasi apa yang benar-benar penting, apa yang bisa ditunda, dan apa yang bisa ditinggalkan.

Apakah Slow Living Bukan Alasan Untuk Malas?

Di sisi lain, ada yang mengkritik konsep slow living. Beberapa orang menganggap bahwa slow living hanya pembenaran untuk bermalas-malasan. Apalagi di lingkungan kampus yang kompetitif, slow living kadang dipandang sebagai tanda kurang ambisius, atau bahkan menyerah sebelum mencoba.

Namun, apakah benar begitu? Jawabannya tergantung dari cara kita memaknainya. Slow living bukan berarti berhenti, tapi berjalan sesuai kapasitas. Bukan tentang menolak produktivitas, melainkan memilih produktivitas yang bermakna.

Forbes (2023) menyebutkan bahwa orang-orang yang mempraktikkan slow living dan manajemen waktu yang sengaja dilakukan cenderung memiliki tingkat ketahanan emosional dan fokus kerja yang lebih tinggi dibanding mereka yang terus-menerus multitasking.

Hidup Bukan Lomba Lari

Pada akhirnya, hidup bukan soal siapa yang paling cepat sampai. Setiap orang punya garis start dan garis finish yang berbeda. Ada yang langsung tahu mau jadi apa sejak awal, ada juga yang masih mencari-cari arah meski sudah di akhir masa kuliah.

Slow living mengajak kita untuk tidak panik saat belum punya pencapaian besar. Mengajak kita menikmati perjalanan, bukan sekadar mengejar tujuan. Karena tidak semua keterlambatan adalah kegagalan. Dan tidak semua yang tampak diam, sedang berhenti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *