Peningkatan Tarif Impor AS Terhadap Produk Ekspor Indonesia
Pemerintah Indonesia berhasil mengurangi tarif impor dari Amerika Serikat terhadap produk ekspor nasional menjadi 19%, jauh lebih rendah dibandingkan usulan Donald Trump sebesar 32%. Meski demikian, tarif tersebut tetap lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya 10%. Keputusan ini dianggap sebagai langkah penting untuk melindungi sektor ekspor Indonesia dari tekanan besar.
Dengan penerapan tarif yang lebih rendah, Indonesia mampu menjaga stabilitas sektor ekspornya. Selain itu, kebijakan ini membuat Indonesia sedikit lebih kompetitif dibandingkan Vietnam yang menghadapi tarif 20%. Pelaku industri menyambut positif kebijakan ini karena beban bagi manufaktur dan eksportir menjadi lebih ringan.
Selain itu, akses bebas bea terhadap barang-barang AS seperti jagung, kedelai, logam, dan peralatan medis diharapkan dapat menekan biaya produksi di berbagai sektor dalam negeri. Hal ini akan memberikan dampak positif pada sektor pangan, peternakan, logam, dan kesehatan.
Risiko Utama yang Harus Diperhatikan
Menurut Jeffrosenberg Chenlim, Analis Maybank Sekuritas Indonesia dalam riset 18 Juli 2025, risiko utama Indonesia akan berpusat pada volatilitas nilai tukar, nasib petani domestik, serta produsen kecil. Selain itu, preseden dan pengaruh Indonesia dalam perundingan perdagangan di masa depan juga menjadi perhatian serius.
Sebagai imbal balik, Indonesia membuka akses bebas tarif bagi barang-barang AS, sekaligus berkomitmen membeli produk pertanian, energi, dan pesawat Boeing dari Negeri Paman Sam senilai US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp 73 triliun. Pemerintah juga melonggarkan hambatan non-tarif seperti lisensi impor dan aturan kandungan lokal, membuka peluang investasi dari AS terutama di sektor pengolahan tembaga dan nikel, di mana Indonesia memiliki keunggulan.
“Karena sebagian besar ekspor AS ke Indonesia berupa energi dan barang modal, dampaknya terhadap produsen dalam negeri dinilai minim, sehingga tekanan dari pelaku industri lokal relatif rendah,” ujar Jeffrosenberg dalam risetnya.
Kesepakatan Tarif AS sebagai Berkah Tersembunyi
Perundingan tarif AS menjadi berkah tersembunyi bagi Indonesia. Untuk mengamankan kesepakatan tersebut, Jakarta berjanji untuk melonggarkan hambatan non-tarif bagi perusahaan AS dan menjadi dorongan eksternal yang mempercepat reformasi domestik.
Dalam momentum ini, pemerintah harus segera membongkar pembatasan yang selama ini menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini juga akan membuka jalan untuk Indonesia menerapkan kebijakan yang lebih ramah bisnis dan mempercepat modernisasi ekonomi nasional.
Contoh nyatanya adalah pada 30 Juni 2025, pemerintah melonggarkan persyaratan impor untuk 47 produk dari 10 komoditas. Ini adalah langkah awal dari deregulasi yang kemungkinan akan berlanjut.
Sektor yang Dipengaruhi oleh Kesepakatan
Menurut Jeffrosenberg, kesepakatan ini memberikan angin segar bagi sejumlah emiten Indonesia, khususnya sektor berikut:
1. Sektor Peternakan dan Pangan
Akses bebas tarif untuk jagung dan bungkil kedelai AS akan memangkas biaya pakan, yang selama ini menyumbang sekitar 75% dari biaya produksi di sektor unggas. Harga jagung global yang sekitar 32% lebih murah dari jagung lokal sebelumnya dibatasi demi melindungi petani, tetapi kini kebijakan itu dilonggarkan. Integrator unggas seperti JPFA dan CPIN serta produsen makanan pokok seperti ICBP dan MYOR diprediksi akan meraih keuntungan dari efisiensi biaya ini. Rekomendasi saham unggulan: JPFA, dengan valuasi menarik di 5x PER FY25E (dibandingkan CPIN 20x).
2. Sektor Otomotif
Meski ekspor otomotif Indonesia ke AS masih minim, tarif 19% ini menjadikan suku cadang otomotif Indonesia seperti produk dari AUTO dan DRMA lebih kompetitif dibanding produk dari Meksiko, China, atau Thailand. Ini membuka peluang ekspansi pasar baru bagi produsen komponen lokal.
3. Sektor Kesehatan
Penghapusan bea masuk untuk peralatan medis dari AS dapat mempercepat balik modal bagi rumah sakit. Emiten seperti MIKA, SILO, dan HEAL diperkirakan akan mendapat manfaat dari efisiensi ini.
4. Sektor Perbankan
Efek tidak langsung kemungkinan akan terasa dari melemahnya permintaan ekspor produk alas kaki, furnitur, dan garmen ke AS. Hal ini bisa meningkatkan risiko kredit di sektor perbankan, karena bank harus mengantisipasi perlambatan pinjaman dan kemungkinan naiknya provisi.
5. Sektor Bahan Baku
Eksposur langsung ke pasar AS minim bagi perusahaan semen seperti INTP dan SMGR, serta produsen cat AVIA. Namun, volatilitas nilai tukar USD/IDR dan harga energi global bisa berdampak pada biaya produksi. Sekitar 40%–45% biaya tunai produsen semen berasal dari batu bara dan minyak, sementara AVIA menghadapi biaya tinggi dari resin dan bahan kimia berbasis minyak.
6. Sektor Properti
Tidak ada dampak langsung terhadap sektor properti, tetapi nilai tukar USD/IDR memengaruhi biaya bahan bangunan impor. Untuk perumahan, bahan impor biasanya kurang dari 20% dari total biaya konstruksi, tetapi untuk proyek komersial bisa lebih tinggi karena penggunaan sistem dan material finishing impor.


