9 Ucapan Guru Dulu yang Bisa Mengganggu Anak Sekarang

Posted on

Perubahan dalam Komunikasi Guru dengan Anak: Dari Ancaman ke Empati

Sejak tahun 70-an dan 80-an, metode pengajaran dan pemahaman psikologi anak telah mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini memicu perbedaan besar dalam cara guru berkomunikasi dengan murid-murid mereka. Frasa yang dulu dianggap biasa kini bisa dianggap sebagai bentuk trauma psikologis. Mengenali perubahan ini penting untuk memahami bagaimana cara pandang terhadap kesehatan mental anak berkembang.

Berikut adalah sembilan ungkapan yang pernah digunakan oleh guru di masa lalu dan kini menjadi bahan perhatian:

  • “Saya Tidak Peduli Siapa yang Memulainya”

    Frasa ini sering digunakan sebagai respons untuk mengakhiri perselisihan antar siswa. Namun, hal ini tidak mencoba memahami akar masalah, melainkan hanya ingin menghentikan konflik. Ini mengabaikan perasaan anak dan tidak mengajarkan mereka bagaimana menyelesaikan masalah secara efektif.

  • “Berhenti Menangis atau Saya Beri Kamu Sesuatu untuk Ditangisi”

    Ungkapan ini merupakan ancaman untuk membuat anak berhenti menangis. Alih-alih memberikan dukungan emosional, ini justru menekan perasaan anak dan membuat mereka merasa takut. Anak diajarkan bahwa emosi mereka tidak valid dan harus disembunyikan.

  • “Kamu Tidak Hidup Sesuai Potensimu”

    Di masa lalu, guru percaya bahwa semua siswa harus mengikuti satu standar. Frasa ini bisa membuat anak merasa tidak berharga dan gagal, meskipun mereka sudah berusaha keras. Ini tidak menghargai perbedaan kecepatan dan cara belajar setiap anak.

  • “Tongkat dan Batu Boleh Mematahkan Tulangmu, tapi Kata-kata Tidak Akan Menyakitimu”

    Pepatah ini digunakan untuk meremehkan dampak dari perundungan verbal. Namun, sains modern membuktikan bahwa kata-kata dapat melukai otak dan meninggalkan trauma. Frasa ini mengajarkan anak untuk menekan perasaan mereka dan menerima perlakuan buruk.

  • “Namanya Juga Anak Laki-laki”

    Ungkapan ini memberi izin bagi anak laki-laki untuk berperilaku buruk. Mulai dari merusak barang hingga melecehkan anak perempuan, semua dimaafkan dengan kalimat ini. Hal ini membentuk pandangan gender yang toksik dan tidak menghormati anak perempuan.

  • “Sudah Dicoba Berpikir Lebih Keras?”

    Guru di era itu mengharapkan siswa untuk mengikuti satu pola pikir saja. Kalimat ini menyiratkan bahwa siswa bodoh jika tidak langsung memahami sesuatu. Ini adalah frasa yang meremehkan proses belajar dan berpikir.

  • “Ini Akan Masuk ke Catatan Permanenmu”

    Frasa ini digunakan sebagai ancaman tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya. Mereka berharap anak-anak patuh karena takut masa depan mereka rusak. Frasa ini mengintimidasi dan memanipulasi anak secara emosional.

  • “Dengarkan Saya, Saya Orang Dewasa”

    Ungkapan ini menunjukkan otoritas absolut dan menolak segala bentuk pertanyaan atau keraguan dari anak. Hal ini membungkam keingintahuan anak-anak dan membuat mereka takut untuk berpikir kritis. Mereka diajarkan untuk tidak mempertanyakan otoritas orang dewasa.

  • “Jalani Saja”

    Frasa ini digunakan sebagai respons atas cedera atau rasa sakit yang tidak terlihat. Guru menganggap cedera yang dialami anak sebagai sesuatu yang sepele dan dapat diabaikan. Ini meremehkan pengalaman fisik dan emosional anak.

Perubahan cara pandang ini mencerminkan kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan mental anak. Kita belajar bahwa cara berkomunikasi dengan anak-anak memiliki dampak jangka panjang pada diri mereka. Penting untuk memahami mengapa kalimat yang seolah-olah tidak berbahaya ini bisa jadi sangat menyakitkan.

Hal ini menekankan pentingnya komunikasi yang penuh empati dan rasa hormat dalam mendidik anak. Perlu diingat bahwa kata-kata memiliki kekuatan untuk membentuk atau bahkan merusak jiwa anak. Kita harus berhati-hati dalam setiap ucapan.