Kedaulatan Siber: Masa Depan Kemerdekaan yang Tidak Terbatas
Delapan puluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, batas-batas kedaulatan negara kita tidak lagi hanya terbatas pada wilayah darat, laut, dan udara. Kini, kedaulatan juga berlaku di ruang siber—sebuah dimensi baru yang semakin kompleks dan dinamis. Ruang siber merupakan perluasan dari ruang fisik, di mana aset-aset digital beralih bentuk, batas-batas menjadi tidak jelas, dan ruang-ruang seperti media sosial, Internet of Things (IoT), infrastruktur kritis, serta platform digital lainnya terus berkembang.
Kedaulatan siber merujuk pada kemampuan suatu negara dan rakyatnya untuk menentukan pilihan mereka sendiri dalam hal data, teknologi, dan aturan yang mengatur kehidupan digital. Dulu, kedaulatan terkait dengan wilayah, batas-batas, dan simbol-simbol negara seperti bendera. Kini, kedaulatan juga mencakup cloud, aplikasi, kabel bawah laut, dan platform yang dapat melintasi batas-batas negara dalam hitungan detik. Ketidakdisiplinan dalam menjaga kedaulatan teritorial, baik dalam perencanaan maupun penggunaan teknologi, akan berdampak pada ranah siber, yang bisa membawa ancaman lebih serius dan dampak yang lebih besar.
Lonjakan Ancaman Siber dan Pola Kebocoran Data
Laporan CSIRT.ID menunjukkan bahwa selama 12 bulan terakhir (17 Agustus 2024–17 Agustus 2025), jumlah insiden dan kebocoran data meningkat secara signifikan. Dari data tersebut, tercatat sebanyak 3.136 organisasi berbasis Indonesia mengalami kompromi dalam satu tahun terakhir. Puncak peningkatan terjadi pada Juli 2025, dengan 2.011 entitas terkena dampak—naik 203% dibanding Juni (663) dan 335% dibanding Mei (462).
Dalam hal sektor, informasi dan layanan teknologi mendominasi dengan 13,2 persen, disusul oleh pendidikan (6,2%), internet (5,8%), layanan keuangan (5,5%), pendidikan tinggi (3,8%), dan ritel serta sektor lainnya. Organisasi yang terdampak mayoritas adalah perusahaan menengah dengan jumlah karyawan antara 11–50 orang (26,9%) dan 51–200 orang (22,3%). Ini menunjukkan bahwa pelaku ekonomi yang menjadi tulang punggung digital nasional sering kali kurang memiliki sistem keamanan yang memadai.
Yang paling mencolok adalah kebocoran data akun pengguna yang jauh lebih besar dibanding kebocoran data internal. Indikator user breach muncul pada lebih dari 96% entitas, sementara employee breach hanya sekitar 35%. Hal ini menunjukkan adanya ciri khas account takeover (ATO) yang disebabkan oleh penggunaan kata sandi yang sama di beberapa akun, phishing, atau pencurian token/sesi.
Infrastruktur Kritis: Pemerintahan dan Layanan Keuangan
Pada infrastruktur kritis, CSIRT.ID menemukan adanya eksposur pada dua sektor utama: pemerintahan (65 entitas) dan layanan keuangan (171 entitas). Kebocoran data di sektor pemerintahan dapat menyebabkan penyalahgunaan identitas layanan publik, defacement, atau penyebaran disinformation yang merusak legitimasi institusi. Di sisi lain, kebocoran data di sektor keuangan bisa memicu penipuan, social engineering, dan potensi keruntuhan kepercayaan nasabah.
Dominasi vendor IT services dan internet di daftar sektor terdampak menunjukkan risiko rantai pasok. Banyak institusi kritis bergantung pada pihak ketiga seperti SSO, email gateway, cloud storage, atau managed service. Jika satu vendor terganggu, efeknya bisa merambat ke klien-klien yang terhubung, termasuk lembaga penting negara.
Kedaulatan Siber: Dari Jargon Menjadi Mandat Operasional
Kedaulatan siber bukan sekadar istilah kosong, tetapi menjadi mandat operasional yang harus diterapkan. Tiga hal menjadi ukuran utama:
- Kedaulatan Identitas – Setiap pengguna yang masuk ke sistem publik atau finansial harus diverifikasi dengan cara yang tahan terhadap phishing dan pencurian sesi.
- Kedaulatan Data – Arsitektur penyimpanan dan pengolahan data harus menjamin data residency, enkripsi kuat, serta respons insiden yang cepat dan akuntabel.
- Kedaulatan Operasi – Kemampuan deteksi dan respons harian, standar rantai pasok, serta tata kelola pelaporan insiden yang konsisten lintas sektor.
Menjaga Kemerdekaan di Era Siber dan Digital
Lonjakan insiden pada Juli 2025 mengingatkan kita bahwa kedaulatan tidak hilang dalam sekejap, tetapi tergerus sedikit demi sedikit oleh tindakan-tindakan seperti pencurian kredensial, konfigurasi yang lalai, atau rantai pasok yang tidak stabil. Di usia kemerdekaan yang ke-80, pilihan kita sederhana: membiarkan ruang siber menjadi ajang dominasi pihak lain, atau menegakkan kedaulatan siber dengan disiplin identitas, tata kelola yang kuat, dan operasi pertahanan yang modern.
Di atas semua itu, kepemimpinan digital menjadi syarat utama dari kedaulatan digital. Tanpa kepemimpinan yang kuat, segala langkah hanya akan berupa dokumen yang tidak berarti. Dalam Governance, Risk Management, dan Compliance (GRC) di ruang siber, kepemimpinan digital menjadi inti dari seluruh siklusnya.
Kemerdekaan digital bukan hanya tentang tempat menyimpan data, tetapi juga kemampuan merespons ketika data itu diserang. Jika kita mampu memastikan identitas yang kuat, data yang berdaulat, dan operasi yang tangguh, maka semboyan “Merdeka!” akan kembali menemukan maknanya—terutama di dunia tanpa batas bernama siber.
