Perjalanan Napak Tilas Sejarah di Tengah Keindahan Alam Jogja
Pada hari Sabtu pagi, 2 Agustus 2025, udara Tegalrejo, Yogyakarta, masih terasa sejuk. Suara mesin motor perlahan mulai terdengar, mengiringi sebuah perjalanan yang tidak sekadar untuk bersenang-senang. Perjalanan ini memiliki makna yang lebih dalam, yaitu untuk mengenang dan meresapi semangat perjuangan Pangeran Diponegoro yang telah memicu Perang Jawa dua abad silam.
Tim Jurnalis Jogja yang tergabung dalam komunitas 76Rider, kelompok pecinta motor dengan sensitivitas sejarah dan sosial, memulai perjalanan mereka dari Museum Diponegoro di Tegalrejo. Tempat ini menjadi simbol awal dari perlawanan terhadap penjajah Belanda. Di sini, para jurnalis menemukan saksi bisu bagaimana seorang bangsawan kraton, Pangeran Diponegoro, memutuskan untuk turun ke medan laga demi mempertahankan harga diri bangsa dan tanah air.
“Kami ingin membuktikan bahwa touring bisa lebih dari sekadar jalan-jalan. Ini adalah napak tilas, membawa semangat perjuangan dan keteguhan hati sang Pangeran,” ujar Azam Sauki, Sekretaris Panitia, saat melihat museum yang berdiri kokoh namun sederhana itu.
Dengan semangat membara, motor-motor mereka menderu melewati jalan Godean, menembus perkampungan yang tenang, hamparan sawah yang hijau, dan rute-rute yang diyakini pernah dilalui oleh Pangeran Diponegoro bersama pasukannya. Rasa lelah tak terasa, digantikan oleh rasa haru dan hormat yang mendalam kepada sosok pemimpin yang rela meninggalkan kenyamanan istana demi perjuangan yang penuh pengorbanan.
Tujuan selanjutnya adalah Museum Pengabdian Pangeran Diponegoro di Kota Magelang, tepatnya di Jalan Pangeran Diponegoro No. 1. Museum ini dulunya merupakan rumah dinas Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Hendrik Markus de Kock, dan menjadi tempat bersejarah saat perundingan antara Diponegoro dan Belanda terjadi. Di sinilah, sang Pangeran akhirnya ditangkap dalam pengkhianatan yang menyayat sejarah.
Saat memasuki ruangan utama museum, suasana hening. Di dalam almari kaca, para jurnalis menatap takjub jubah putih dan Alqur’an tulisan tangan milik Pangeran Diponegoro—dua benda asli yang masih terawat rapi. “Aura perjuangan itu masih terasa di sini. Seakan kita bisa mendengar suara sang Pangeran membaca doa sebelum berunding,” bisik salah satu peserta, matanya sedikit berkaca-kaca.
Di sudut lain, mereka melihat meja dan kursi asli tempat perundingan berlangsung. Dari dalam ruang itu terasa seperti ada aura luapan emosi sang Pangeran atas pengkhianatan dan tipu daya penjajah. Ada juga replika lukisan karya Raden Saleh yang menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro menjadi saksi bisu betapa tragis akhir dari satu fase perjuangan itu.
Perjalanan belum berakhir. Para 76Rider kembali menyalakan motor mereka dan menuju sebuah tempat suci di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Di sinilah Masjid Langgar Agung Diponegoro berdiri. Masjid ini dibangun di atas petilasan tempat Pangeran Diponegoro beristirahat kala berjuang pada masa Perang Jawa.
Langgar yang dulunya sederhana, kini telah berubah menjadi masjid yang kokoh dan anggun. Dibangun sejak tahun 1960-an dan diresmikan pada 8 Januari 1972, masjid ini adalah wujud penghormatan atas jasa Pangeran Diponegoro. “Langgar ini menjadi tempat perenungan beliau, tempat mencari kekuatan spiritual sebelum kembali ke medan juang,” ucap Chaidir, ketua tim touring.
Di tempat ini, waktu seperti melambat. Seolah suara adzan dari masa lalu kembali terdengar, mengingatkan bahwa perjuangan bukan hanya soal senjata, tapi juga soal iman dan keteguhan hati.
Usai berziarah ke masjid tersebut, perjalanan pun ditutup dengan hening yang dalam. Para jurnalis saling berpandangan. Mereka tidak hanya membawa kembali foto dan catatan liputan, tapi juga semangat perjuangan dan kebesaran jiwa seorang pahlawan yang telah menembus ruang dan waktu.
Touring edisi pertama ini berakhir. Didukung oleh Djarum76 dan perlengkapan lapangan dari Eiger, perjalanan ini bukan hanya sukses secara teknis, tapi juga berhasil menyentuh sisi terdalam dari rasa nasionalisme dan kemanusiaan.
Bagi para jurnalis, perjalanan ini bukan akhir, tapi awal dari sebuah kesadaran: bahwa sejarah tidak pernah mati, ia hanya menunggu untuk kita datangi kembali—dengan sepenuh hati dan jiwa.
“Perjalanan ini mengajarkan kami, bahwa di balik jalan-jalan sunyi yang kami lewati, ada jejak langkah perjuangan yang tak boleh dilupakan,” ujar Chaidir, Ketua Panitia 76Rider FJ2 Touring.
