5 Cara Mengatasi Luka Batin dari Pola Asuh Otoriter, Menurut Ahli Psikologi

Posted on

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Luka Batin dan Cara Mengatasinya

Apakah kamu pernah bertanya-tanya, apakah pengalaman masa kecil yang pahit masih memengaruhi diri kamu hingga saat ini? Banyak orang yang tumbuh dengan pola asuh otoriter atau cara mendidik yang sangat keras, dan akhirnya mengalami luka batin yang masih terasa hingga dewasa. Luka emosional ini bisa menyebabkan rasa takut, kurang percaya diri, serta kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain.

Tidak hanya perempuan, konflik antara menantu laki-laki dan mertua juga bisa menjadi sumber luka batin. Begitu pula dengan anak-anak yang tampak tegar setelah orangtua bercerai, tetapi sebenarnya mereka mungkin masih menyimpan luka yang tersembunyi. Pertanyaannya adalah, apakah luka batin dari masa kecil bisa sembuh?

Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M., menjelaskan bahwa setiap orang memiliki peluang untuk bangkit dan pulih dari luka batin. Menurutnya, kunci utama adalah daya resiliensi yang diberikan Tuhan pada manusia. Daya resiliensi ini adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi situasi sulit dan trauma dengan respons yang lebih positif. Dengan adanya resiliensi, seseorang bisa bangkit dari pengalaman buruk, termasuk dari pola asuh otoriter yang membuat masa kecil terasa berat.

Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk sembuh dari luka batin akibat pola asuh otoriter:

  1. Mendefinisikan Diri dengan Jujur

    Langkah pertama yang disarankan oleh Ratih adalah berani mendefinisikan diri sendiri. Tanyakan pada diri sendiri, “Sebenarnya saya ini siapa?” Apakah kamu merasa sebagai korban, survivor, atau tidak berdaya? Dengan menentukan definisi diri yang jelas, seseorang bisa lebih mudah menentukan arah hidup tanpa terus terjebak dalam luka masa lalu.

  2. Menghargai Apa yang Dimiliki

    Langkah selanjutnya adalah mengingat kembali hal-hal yang sudah dimiliki, meskipun sekecil apa pun. Ratih menekankan pentingnya menghargai hal-hal sederhana dalam diri agar seseorang lebih bersyukur dan melihat hal-hal positif dari diri sendiri. Misalnya, bersyukur memiliki dua kaki yang sehat atau rambut yang bagus. Sikap bersyukur ini akan membantu membangun pondasi yang lebih kuat untuk berdamai dengan diri sendiri.

  3. Mengenali Kekuatan Diri

    Refleksi terhadap kemampuan pribadi juga penting. Dengan cara ini, seseorang bisa menemukan sumber kekuatan dari dalam diri. Tanyakan pada diri sendiri, “Saya bisa apa?” Hal ini akan menjadi sumber kekuatan dari dalam diri untuk sembuh. Kekuatan ini nantinya akan membantu proses penyembuhan dan meningkatkan rasa percaya diri dalam menghadapi kehidupan.

  4. Membuat Narasi Baru atas Luka Masa Lalu

    Ketika mulai merasa lebih pulih, Ratih menyarankan agar seseorang meninjau kembali pengalaman pahit yang pernah dialami. Alih-alih terus menganggapnya sebagai ketidakadilan, pengalaman tersebut bisa didefinisikan dengan cara yang lebih positif. Contohnya, luka masa lalu bisa dianggap sebagai pembelajaran yang membuat seseorang lebih mandiri, lebih pintar, dan lebih memahami kriteria pasangan hidup yang ingin dimiliki. Dengan membangun narasi baru, luka masa lalu tidak lagi menjadi beban, melainkan batu loncatan untuk tumbuh lebih kuat dan bijak.

  5. Pahami Kalau Kamu Berharga

    Setiap orang berhak sembuh dari luka masa lalu. Ratih menegaskan, kuncinya bukan melupakan, melainkan mendefinisikan ulang pengalaman dengan cara yang lebih sehat. Pahamilah bahwa diri kamu berharga dan harus berbahagia. Melihat suatu kejadian dengan perspektif berbeda bisa membuat hati lebih tenang. Dengan kasih pada diri sendiri, resiliensi, serta keberanian membangun narasi positif, seseorang bisa berdamai dengan masa lalu dan melangkah ke depan dengan lebih tenang.