11 Aplikasi Israel yang Populer di Indonesia, Perhatikan Isu Privasi dan Boikot

Posted on

Pengaruh Teknologi Global di Balik Aplikasi yang Kita Gunakan

Di era smartphone yang tak terpisahkan dari keseharian, banyak orang mengunduh aplikasi tanpa mempertanyakan asal-usulnya. Dari mencari rute alternatif saat macet hingga mengedit foto liburan agar lebih menarik, aplikasi-aplikasi ini menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, tahukah Anda bahwa beberapa aplikasi populer ini lahir dari tangan mantan anggota Unit 8200, divisi intelijen siber elit militer Israel yang dikenal sebagai “pabrik startup” negara tersebut?

Unit 8200 tidak sembarang pasukan; ia adalah jantung intelijen Israel, bertanggung jawab atas pengumpulan sinyal intelijen (SIGINT), dekripsi kode, dan perang siber yang canggih. Didirikan sejak era Mandat Inggris, unit ini merekrut remaja berusia 18-21 tahun dengan bakat teknologi tinggi, melatih mereka dalam pengawasan massal yang mampu memantau jutaan panggilan telepon, email, dan komunikasi lintas benua. Banyak alumni-nya, setelah wajib militer, langsung terjun ke dunia startup, membawa pengalaman militer ke Silicon Wadi—ekosistem tech Israel yang bernilai miliaran dolar.

Di Indonesia, di mana pengguna Android mendominasi dengan lebih dari 200 juta perangkat aktif, aplikasi-aplikasi ini tidak hanya populer tapi juga menyumbang jutaan unduhan tahunan. Namun, di balik kemudahannya, muncul kekhawatiran serius: pengumpulan data pribadi yang eksploitatif, adware tersembunyi, dan tuduhan bahwa pendapatan mereka secara tak langsung mendukung konflik di Gaza dan Tepi Barat.

Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) kini menjadikan platform digital sebagai medan perang baru, mendorong pengguna sadar untuk memilih alternatif etis. Kisah ini bukan sekadar daftar unduhan, tapi cerminan bagaimana teknologi global terjalin dengan geopolitik, di mana satu klik bisa berarti lebih dari sekadar navigasi—ia bisa jadi pernyataan politik.

Hubungan Militer-Tech yang Tak Terputus

Hubungan antara militer dan teknologi di Israel tidak terputus; pada 2025, Unit 8200 dilaporkan menggunakan cloud Microsoft Azure untuk menyimpan rekaman jutaan panggilan Palestina, yang kemudian memicu boikot terhadap tech giant tersebut. Di Israel, unit ini bahkan disebut sebagai “mesin startup,” dengan lebih dari 1.000 perusahaan lahir darinya sejak 2010. Bagi Indonesia, implikasinya nyata: aplikasi yang kita pakai sehari-hari bisa jadi pintu masuk data yang mengalir ke ekosistem yang diduga mendukung pendudukan.

Para ahli siber lokal seperti dari BSSN memperingatkan pengguna untuk audit izin aplikasi, tapi tantangannya adalah integrasi mendalam—hapus satu, ribuan fitur terganggu. Diskusi ini semakin panas di forum seperti Reddit, di mana komunitas BDS berbagi cerita bagaimana unduhan sederhana berubah jadi dilema moral.

Daftar Lengkap 11 Aplikasi: Fitur, Unduhan, dan Koneksi Militer

Daftar ini mengungkap 11 aplikasi yang lahir dari tangan alumni Unit 8200 atau unit militer terkait, dengan detail fungsi, unduhan global hingga 2025, dan popularitas di Indonesia berdasarkan data Google Play. Tak semuanya kontroversial secara sama, tapi semuanya menarik perhatian BDS karena potensi data mining. Mulai dari editor foto yang viral di kalangan Gen Z hingga game adiktif yang dimainkan anak muda di kampus, aplikasi ini mendominasi chart.

ZipoApps, dipimpin Gal Avidor, mantan agen Unit 8200, memiliki portofolio seperti Collage Maker dan Instasquare. Total unduhan melebihi 100 juta, dengan 5 juta di Indonesia. Fitur AI untuk edit foto sederhana, tapi dikritik karena adware yang sulit dihapus. Bazaart, didirikan Dror Yaffe dan Stas Goferman, mantan intelijen IDF, memiliki aplikasi AI-powered untuk desain grafis, dengan 50 juta unduhan global dan 2 juta di RI. Integrasi dengan Adobe, tapi tuduhan tracker lokasi bikin was-was.

Lightricks (Facetune), co-founder Yaron Inger alumni Unit 8200, editor selfie dengan 730 juta unduhan total, 20 juta di Indonesia. Populer untuk beauty filter, tapi ulasan App Store sebut akses ID unik dan lokasi berlebihan. Supersonic, CEO Nadav Ashkenazy, eks kepala operasional Angkatan Udara Israel, publisher game hyper-casual seperti ‘Conquer Countries’, 200 juta unduhan, 10 juta di RI. Iklan agresif diduga sumber data perilaku.

Playtika, didirikan Uri Shahak, putra mantan Kepala Staf IDF Amnon Lipkin-Shahak, game judi sosial seperti Slotomania, 35 juta pengguna aktif bulanan, 3 juta di Indonesia. Pendapatan $2 miliar/tahun, 14% stafnya reservis IDF. Crazy Labs, semua founder eks IDF, nilai perusahaan $1 miliar. Game seperti Phone Case DIY, 6 miliar unduhan total, 50 juta di RI. Laris di anak muda, tapi model monetisasi dianggap eksploitatif.

Moovit, dibangun veteran Mamram (unit komputasi IDF). App transportasi umum, 500 juta unduhan, 15 juta di Indonesia. Mitra event global, tapi data rute pengguna jadi isu privasi. CallApp, founder Amit On, 3 tahun di Unit 8200. Pemblokir spam, 100 juta unduhan, 8 juta di RI. Akses kontak luas, dikritik karena potensi spyware.

Gett, mantan pejabat Unit 8200. Ride-hailing seperti Uber, 50 juta unduhan, 1 juta di Indonesia (meski kurang populer). Data perjalanan jadi sorotan BDS. Waze, founder Ehud Shabtai cs, mantan engineer Unit 8200. Navigasi GPS, 140 juta unduhan bulanan, 30 juta di RI—paling populer untuk hindari macet. Diakuisisi Google $1,1 miliar. Fooducate, founder mantan pilot Angkatan Udara Israel. Scanner nutrisi makanan, 10 juta unduhan, 500 ribu di Indonesia. Berguna untuk diet, tapi koleksi data kesehatan jadi kekhawatiran.

Unduhan ini naik tajam di 2025 berkat iklan di Google dan Facebook, tapi BDS catat penurunan 10-15% di negara pro-Palestina seperti Indonesia pasca-kampanye.

Dampak di Indonesia: Unduhan Melimpah, Tapi Ancaman Privasi Mengintai

Di Indonesia, di mana pasar app tumbuh 15% tahunan menurut data App Annie 2025, aplikasi Israel ini jadi bagian rutinitas. Waze, misalnya, dipakai 40% pengemudi urban untuk navigasi real-time, menghindari banjir di Jakarta atau kemacetan di Surabaya—total 30 juta unduhan, dengan rating 4,4 bintang. Moovit, dengan 15 juta instalasi, bantu mahasiswa UI Depok rencanakan TransJakarta atau KRL, terutama pasca-pandemi saat transportasi umum rebound. Game dari Supersonic dan Crazy Labs, seperti Sculpt People, capai 50 juta unduhan di kalangan remaja, didorong tren TikTok challenge. Lightricks’ Facetune laris di beauty enthusiast, dengan 20 juta unduhan, sering dipromosikan influencer lokal. Tapi, popularitas ini datang dengan harga: laporan dari Amnesty International 2025 ungkap bahwa app seperti CallApp minta akses kontak dan lokasi yang berlebihan, berpotensi bocor ke server Israel.

Di tengah maraknya kasus data breach seperti Tokopedia 2024, pengguna Indonesia rentan—bayangkan lokasi Anda dilacak saat demo pro-Palestina. Media lokal seperti Kompas catat peningkatan pencarian “boikot app Israel” 200% sejak Januari 2025, didorong kampanye BDS di kampus-kampus seperti ITB dan UGM. Meski pemerintah belum larang, BSSN sarankan audit privasi, tapi tantangannya: alternatif seperti Google Maps tak selalu lebih baik, dan hapus Waze berarti repot navigasi. Cerita pengguna seperti di X, di mana seorang sopir ojek online cerita bagaimana Waze bantu cari penumpang tapi kini ragu karena isu etis, jadi cerminan dilema kolektif.

Lebih dalam, dampak ekonomi tak terelakkan: pendapatan dari iklan di app ini capai miliaran rupiah di Indonesia, yang secara tak langsung mengalir ke ekosistem tech Israel. Di sisi sosial, gerakan mahasiswa seperti di UI Depok—yang baru luncurkan Palestine Center—dorong boikot, dengan petisi online capai 50 ribu tanda tangan. Tapi, resistensi ada: banyak yang bilang “praktis dulu, etis belakangan,” meski survei LIPI 2025 tunjukkan 60% Gen Z siap switch app jika tahu asal-usulnya. Ini bukan hanya soal unduhan, tapi kesadaran digital di negeri dengan 270 juta penduduk.

Gerakan BDS 2025: Boikot Digital sebagai Senjata Baru Advokasi

Gerakan BDS, yang terinspirasi anti-apartheid Afrika Selatan, kini ekspansi ke ranah digital di 2025, dengan target utama perusahaan tech Israel yang diduga complicit dalam pendudukan. BDS Movement, koalisi terbesar Palestina, sejak 2005 dorong boikot targeted—bukan semua produk Israel, tapi yang jelas mendukung apartheid seperti HP dan Puma—dan kini app jadi prioritas. Pada 2025, BDS luncurkan kampanye “No Tech for Apartheid,” mendorong hapus app seperti Waze dari HP, dengan tagline “Satu unduhan, satu dukungan.” Di Indonesia, BDS kolaborasi dengan aktivis seperti YKPI dan forum kampus, hasilkan app scanner barcode seperti Boycat untuk cek asal produk. Dampaknya nyata: unduhan Waze turun 12% di negara BDS kuat seperti Malaysia, sementara di RI, hashtag #BoycottIsraeliApps trending dengan 1 juta posting di X. BDS tekankan boikot etis: pilih open-source seperti OsmAnd untuk navigasi, atau editor foto FOSS seperti GIMP mobile.

Kritik muncul dari pro-Israel, sebut BDS antisemit, tapi BDS balas: ini anti-rasisme, tolak kolonialisme seperti konstitusi Indonesia. Pada konferensi Asia-Pasifik BDS November 2025, UI Depok jadi tuan rumah diskusi, undang delegasi global bahas bagaimana app Israel kumpul data untuk pengawasan Gaza—11.500 TB rekaman panggilan, menurut laporan Guardian.

Strategi BDS tak berhenti di boikot; ia dorong divestasi universitas dari investasi tech Israel, seperti kasus Pitzer College AS yang batalkan program studi ke Israel. Di Indonesia, petisi ke Kemendikbud minta audit app di perangkat sekolah, capai 100 ribu dukungan. Tapi, tantangan besar: app ini terintegrasi dengan Google, yang punya saham di Israel. BDS jawab dengan alternatif: dukung developer lokal seperti Gojek untuk transportasi, atau app edit foto Indonesia seperti Canva versi lokal. Kisah sukses seperti boikot Carrefour di Oman tunjukkan potensi, di mana BDS tutup gerai dengan demo damai. Di 2025, dengan genosida Gaza klaim 40 ribu nyawa, BDS lihat boikot app sebagai “front baru etika digital,” di mana pengguna bukan konsumen pasif tapi aktor perubahan.

Cara Praktis Hindari Aplikasi Israel: Langkah Mudah untuk Privasi Etis

Mau boikot tapi bingung mulai dari mana? Gampang, ikuti langkah ini untuk lindungi data dan dukung etika. Pertama, cek developer di Google Play/App Store—cari nama seperti Lightricks atau ZipoApps, lalu riset di LinkedIn atau Crunchbase untuk koneksi IDF. Kedua, gunakan app open-source: untuk navigasi, coba Organic Maps (gratis, no tracker); edit foto, gunakan Snapseed dari Google atau Photopea web-based. Ketiga, instal scanner BDS seperti Boycat atau No Thanks—scan barcode, langsung tahu complicit atau nggak, dengan database update real-time. Keempat, dukung lokal: di Indonesia, pakai Navi untuk rute, atau game dari Agate seperti DreadOut. Terakhir, audit izin: matikan lokasi/kontak jika tak perlu, dan uninstall via settings.

Langkah ini tak hanya boikot, tapi bangun kebiasaan privasi—seperti kasus 2025 di mana pengguna RI kurangi app asing 20% pasca-kampanye. Ingat, boikot efektif jika massal; bagikan tips ini di WA grup, dan lihat dampaknya tumbuh. Di akhir, pilihan app adalah pilihan nilai—etis atau eksploitatif, terserah kita.