Jam Kerja di Dunia dan Keseimbangan Hidup
Di era modern saat ini, jam kerja bukan hanya sekadar rutinitas harian, tetapi juga menjadi cerminan dari budaya kerja suatu bangsa. Berbagai negara memiliki pendekatan berbeda dalam mengatur durasi kerja, mulai dari yang menekankan produktivitas tinggi hingga yang lebih fokus pada keseimbangan hidup dan pekerjaan. Namun, realitas menunjukkan bahwa masih banyak negara yang memiliki jam kerja jauh di atas rata-rata global. Hal ini memicu perdebatan apakah jam kerja panjang benar-benar meningkatkan produktivitas atau justru berpotensi mengurangi kualitas hidup para pekerja.
Berdasarkan data resmi dari International Labour Organization (ILO), terdapat 10 negara dengan jam kerja terpanjang di dunia. Daftar ini mencerminkan bagaimana setiap negara mengatur ritme kehidupan warganya, baik di Asia maupun Afrika. Berikut adalah 10 negara tersebut:
- Bhutan: 54,44 jam/minggu
- Sudan: 50,76 jam/minggu
- Lesotho: 50,37 jam/minggu
- Yordania: 48,79 jam/minggu
- Uni Emirat Arab: 48,74 jam/minggu
- Liberia: 47,65 jam/minggu
- Mauritania: 47,59 jam/minggu
- Lebanon: 47,57 jam/minggu
- Mongolia: 47,22 jam/minggu
- Pakistan: 46,93 jam/minggu
Sementara itu, Indonesia berada di urutan ke-86 dengan rata-rata 38,36 jam per minggu. Angka ini sesuai dengan aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Aturan jam kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian diperbarui melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021.
Indonesia menerapkan dua skema jam kerja, yaitu:
- Pola 6 hari kerja per minggu: Maksimal 7 jam per hari, total 40 jam per minggu, dengan hak istirahat 1 hari.
- Pola 5 hari kerja per minggu: Maksimal 8 jam per hari, total 40 jam per minggu, dengan hak istirahat 2 hari.
Untuk sektor-sektor tertentu seperti kesehatan, transportasi, pariwisata, media massa, dan energi, jam kerja bisa berbeda karena sifat pekerjaan yang harus berlangsung terus-menerus.
Pentingnya Work-Life Balance
Keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, atau yang sering disebut work-life balance, menjadi semakin penting dalam kehidupan modern. Menurut thehappinessindex.com, keseimbangan ini memungkinkan seseorang tetap unggul dalam pekerjaan sekaligus menjaga kesejahteraan pribadi di luar kantor.
Aviva, sebuah perusahaan asuransi multinasional asal Inggris, baru-baru ini melakukan studi mengenai work-life balance. Studi tersebut menunjukkan bahwa sejak pandemi Covid-19, orang-orang lebih fokus pada keseimbangan hidup-kerja daripada gaji. Aviva menyatakan, “Lebih banyak pekerja menyebut keseimbangan kehidupan kerja (41 persen) sebagai alasan bertahan di pekerjaan mereka saat ini, dibandingkan gaji (36 persen).”
Pekerjaan memang memainkan peran penting dalam kehidupan. Penghasilan memastikan listrik tetap menyala, makanan tersedia di meja, serta ada persediaan untuk masa depan. Namun, dengan krisis biaya hidup yang membayangi dan tagihan energi yang kian berat, menjaga keseimbangan hidup-kerja justru menjadi semakin menantang.
Tuntutan perusahaan yang semakin tinggi membuat banyak karyawan merasa tertekan untuk terus memberikan hasil lebih baik. Tekanan tersebut tampaknya telah mencapai titik puncaknya, sehingga semakin banyak orang menyadari perlunya keseimbangan hidup yang lebih sehat.
Bisnis yang mendukung work-life balance akan lebih menarik, terutama jika melihat betapa sulitnya menarik dan mempertahankan pekerja muda saat ini. Oxford Economics bahkan menyebut, “Mengganti seorang karyawan rata-rata membutuhkan biaya sekitar £30.000 dan waktu hingga 28 minggu untuk beradaptasi.”
Dengan begitu, menjaga kepuasan karyawan yang sudah ada menjadi langkah bijak. Fokus pada keseimbangan hidup-kerja tidak hanya membantu menarik talenta baru, tetapi juga meningkatkan retensi karyawan. Hasilnya, perusahaan bisa menghemat waktu dan biaya, sekaligus memastikan kualitas sumber daya manusia tetap tinggi.
